oleh Dhima Wahyu Sejati
Pada
dasarnya, tidak ada masalah dengan pencalonan ulama sebagai Wakil Presiden, bahkan sebagai Presiden juga sah-sah saja. Toh, semua mempunyai hak yang sama sebagai
warga negara. Namun yang menjadi kekawatiran publik adalah ulama hanya dijadikan alat untuk mendongkrak jumlah pemilih.
Idealnya memang sosok ulama otoritatif dibutuhkan ditengah-tengah
ketimpangan kepentingan politik saat ini.
Ulama yang objektif dan selalu mementingkan dan membela –baik melalui ucapan
maupun tindakan- kepentingan umat demi kemaslahatan bersama. Bukan malah
sebaliknya.
Ada gagasan yang mengatakan
bahawa ketika ulama terjun terlalu dalam di panggung politik justru
mengakibatkan kemunduran islam dalam berbagai aspek kehidupan. Pendapat semacam
itu terlalu menafikkan sejarah. Pada kenyataanya ulama atau tokoh islam pada
umumnya mempunyai peran yang penting dan menjadi lakon sentral untuk
menyelesaikan permasalah sosial-poltik di Indonesia.
Di
awal kemerdekaan misalnya, paran Mohammad
Natsir didalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Seorang ulama, cendikiawan
islam, sekaligus pemimpin partai Masyumi yang ikut aktif terlibat kegalauan
politik dalam negeri saat itu.
Belanda resmi mengakui kedaulatan Indonesia yang berbentuk
Republik Indonesai Serikat (RIS). Namun Irian Barat saat itu tidak
diakui. Tidak hanya itu bahkan belanda membagi Indonesia menjadi 16 negara
bagian. M. Natsir sebagai menteri
penerangan bersama Haji Agus Salim yang menjabat seabgai menteri luar negeri
menolak keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), alhasil keduanya mundur.
Tidak lama kemudaian, negara-negara bagian melalui
DPRD masing-masing mengeluarkan resolusi untuk
membubarkan diri dan bergabung ke Negara Bagian Republik Indonesia yang berada di Yogyakarta.
Mereka agaknya melihat KMB hanya upaya diplomasi murahan Belanda untuk memcah
keutuahan dan ambisi menguasai kembali Indonesia. Situasi semacam ini terlalu genting jika dibiarkan. Maka M. Natsir jeli melihat titik temu dari gejolak poltik dalam negeri.
M.
Natsir mengajak diskusi para pemimpin fraksi, hal ini bisa saja dilakukan
mengingat saat itu M. Natsir adalah Ketua Fraksi Masyumi. Setelah berdiskusi
dengan banyak pihak dari golongan kiri sampai
yang paling kanan, M. Natsir menyimpulkan bahwa pada dasarnya negara-negara bagian menginginkan untuk melebur menjadi satu dibawah bendera Negara Republik
Indonesia. Atas kepentingan itu, M. Natsir mengeluarkan
Mosi Integeral pada 3 April 1950.
Pendekatan M. Natsir secara personal dengan melobi para tokoh satu per satu membuat Mosi Integral diterima semua kalangan.
Muhammad Hatta yang saat itu sebagai
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri menerima dan sepakat menggunakan konsep Mosi Integral M. Natsir
sebagai dasar untuk memecahkan masalah dalam negeri.
“Politik Santun” M. Natsir kemudian mendapat perhatian dari Presiden Soekarno, bahkan secara mengejutkan
Soekarno memilih M. Natsir sebagai Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan
Republik Indonesia, setalah
secara resmi NKRI diumumkan pada pada 17 Agustus 1950, tepat diulangtahun yang
ke lima. Mosi Integral ini lah yang mewujudkan dan memunculkan ide NKRI,
sekaligus menyerap gagasan negara-negara bagian RIS yang pada intinya enggan
untuk dipecah.