Penulis : Dhima Wahyu Sejati

Ramadhan tiba, ramadhan tiba, Ramadhan tiba
 
Dari dulu saya tidak tahu itu lagu siapa. Namun ketika bulan suci Ramadhan tiba. Entah kenapa sepenggal lirik itu menggema di kepala.
 
Pekan pertama bulan Ramadhan,  saya merasa mendapat suasana baru. Orang-orang mulai sangat shaleh, sholat isya’ yang biasanya hanya 2-3 shaf, ketika Ramadhan 8 shaf, pun kadang masih tambah, ini prestasi. Saya pun sebagai Muslim ikut senang.

Eforia Ramadhan benar-benar sangat terasa. Bila di hari-hari biasa masjid sepi tilawah, sekarang setiap malam terdengar di pengeras suara masjid. Ketika ke pusat pembelanjaan, biasanya lagu disko atau pop yang diputar, kini lagu religi.

Acara TV biasa-biasa saja, jauh dari kata agama, sekarang malah lebih agamis dengan berbagai atribut. Semua keadan ini sampai saya kira, jangan-jangan Indonesai sekarang adalah negara Islam. Ah, bercanda, ini hanya perasaan saya. Terasa memang agama islam banar-benar kaffah.  

Saya berharap rutinitas Ramadhan tidak hilang meski bulan yang mulia ini sudah selesai. Tren mendadak saleh seharusnya terus berlanjut. Bukan malah sebaliknya, kesalehan luntur seiring Ramadhan pergi. Ini juga yang membuat saya berandai-andai jikalau setiap bulan adalah Ramadhan. 

Jika dilihat dari pengalaman Ramadhan tahun lalu, ekspetasi saya yang berharap tren mendadak sholeh bertahan samapai selesai ternyata mengecewakan, semuanya berakhir ketika iklan sirop sudah tidak ada. TV yang juga mendadak relegius, kembali ‘sekuler’ seperti biasa. Saya mulai bertanya-tanya kenapa tidak se-saleh yang lalu-lalu. Ah, mungki khilaf.

Tidak juga, saya berusaha huznudzon, namun kenyataanya, yang ada TV memang memanfaatkan momentum dan eforia Ramadhan sebagai ceruk pasar. Jualan produk ‘religi’ akan lebih laris di saat-saat seperti ini.  Disaat orang-orang menginginkan keadaan semakin agamis, industri menangkap itu sebagai peluang untuk mendapatkan kapital.

Memaknai Ramadhan sebagai sebuah ceruk pasar adalah kesia-siaan, dan tentunya jauh dari kata ‘religi’. Meski yang disajikan adalah acara-acara islami, motifnya hanya sebatas pasar, bukan kesadaran untuk memaknai esensi Ramadhan. Saya mulai curiga, gejala ini mungkin disebut ‘saleh musiman’.  

Apakah Ramadhan sesepele itu, bulan suci seakan lewat saja. Biasa-bisa saja seperti angin berlalu. Sekarang tergantung bagaiamana kita memaknai Ramadhan. Cara kita memaknai Ramadhan menentukan bagaiamana kita memahami esensi dari Ramadhan.

Esensi Ramadhan dapat dilihat di surat yang mewajibkan kita untuk berpuasa, QS. al-Baqarah ayat 183. Ujung ayatnya menunjukan kata yang menarik, yaitu la’allakum tattaquun. Kurang lebih terjemahannya “agar kalian bertakwa”. Ini yang kadang terlupakan, puasa bukan soal menahan lapar dan haus. Lebih dari itu puasa menjadi proses kita untuk lebih baik dan lebih bertakwa kepada Allah.

Pribadi bertakwa menuntunnya untuk berhubungan baik dengan Allah melalui ibadah amaliyah, beriman pada yang ghaib, mendirikan shalat, infak, mengimani Alquran, sampai yakin kepada akhirat.[1] 

Selain berhubungan baik kepada Allah, seorang yang bertakwa juga sewajarnya berhubungan baik degan sesama. Buah dari takwa juga berupa akhlak yang baik, menafkahkan hartanya untuk orang kecil atau anak-anak yatim. Selain itu juga memiliki hati yang lapang untuk memaafkan dan menahan amarah. Orang-orang seperti ini yang boleh disebut bijak.[2]

Puasa Ramadhan melatih untuk menjadi pribadi yang bertakwa, maka wajar terbilang cukup berat. Bukan berat untuk menahan lapar dan haus. Tapi berat untuk mengendalikan nafsu. Dari sini kita juga perlu sadari, bahwa sholeh dadakan memang tidak esensial. Proses untuk menjadi sholeh haruslah melewati jalan berliku. Salah satu proses menuju kesalehan dengan menjalankan puasa Ramadhan sesuai esensi yang dibicarakan Alquran.

Maka esensi Ramadhan adalah semangat mengubah diri. Saya kira ini juga boleh disebut upaya ‘revolusi mental’. Dari mental yang kerdil, menjadi mental yang kuat dan bertakwa kepada Allah.  Wallahu’alam

 



[1]Lihat Q.S Al-Baqarah : 2-5


[2] Lihat Q.S Al 'Imran :133-134