![]() |
sumber gambar : https://khoirotullinnayah.wordpress.com/ |
oleh : Dhima W. Sejati
Tak semua orang paham perihal syariat. Termasuk Supar,
seorang abangan di desa Mojokuto. Keseharian Supar dan isterinya, Sri, melayani
dedemit dengan memberi sesajen. Alasannya sederhana, agar padi di ladang sawahnya
tidak dimakan kawanan dedemit.
Abdullah, tetangganya rutin menasehati agar kebiasaan
memberi sesajen ditinggalkan, dan hanya memohon kepada Allah semata. Abdullah
adalah lulusan pesantren, dia kaum puritan yang gemar berdakwah. Namun apa daya
Supar dan Sri tidak mampu menerima nasehat dari Abdullah.
Bagi Supar dan Sri yang tidak lulus SD, kerjaanya hanya
menanam padi, yang ia tahu hanya perihal padi, tidak lain dan tidak lebih. Jika
padi-padinya mati, ini perkara demit kurang suka sesajennya. Jika padi-padinya gapuk,
ini perkara demit kurang suka dengan mantranya. Jika padinya dimakan hama,
ini demit masih lapar lalu memakan padi mereka. Intinya, demit, demit, dan
demit penyebab bencana. Lalu logikanya, jika sesajen dipersembahkan dengan
sebaik mungkin, pasti prahara dari demit berakhir.
Tidak heran jika nasehat-nasehat Abdullah sukar diterima. Lawong
dia selalu keluar dalil, susah paham, bahasanya terlalu tinggi bagi Supar dan
Sri yang tidak berijazah.
“Assalamualakum yaa Supar, yaa Sri” sapa Abdullah dengan makraj
yang fasih.
“Wangalaikumsalam” jawab supar yang kurang yakin artinya
apa.
“wah rajin ke sawah, alhamdulliah semoga padinya berkah dan
hasilnya toyyib”
"Oh njeh Kiai, aamiin” Raut Supar bingung, apa
urusannya bang Toyyib di bawa-bawa, lawong dia tidak ikut nggarap sawah.
Bang Toyyib adalah teman masa kecil Supar, dia sekarang di Semarang, merantau.
“Pak Supar, jangan lupa sholat, sholat nomor satu, harus
diutamakan, sholat tidak boleh dilanggar” Seperti biasa, Abdullah penuh hikmah
mendakwahi Supar yang bahkan tidak tahu kapan harus sholat dan bagaimana
gerakanya.
Supar mengangguk dan bingung, semakin bingung, sampai ia
sempoyongan memikirkan perkataan Abdullah,
Kiai kampung di Mojokuta. Seakan kepalanya penuh, lalu berat, ingin ia
letakkan saja sangking tidak mampu menahan beban pikiran.
Sembari ia berfikir, sembabari Abdullah semakin jauh pergi
meninggalkan Supar dan padi-padinya yang kebingunan dengan perkataan hikmah
sang Kiai Kampung itu.
Supar pulang, isterinya membuatkan teh dan pohong, makanan dari singkong yang cocok disantap sore hari.
“Srii !”
“Apa mas ?”
“Aku tadi ketemu Kiai”
“La terus kenapa ?”
“Yaa disuruh sholat”
“Lawong sholat aja gak bisa !” Sri nampak dahinya semakin
berkerut
“ Sri, tadi pak kaiai ngendiko kon sholat, yaa nurut to..”
Supar berusaha membujuk
“Tapi gimana ya ?” Supar masih bingung dengan perkataan Kiai
“Apa lagi ?” Sri semakin jengkel dengan kedunguan supar,
selalu membicarakan sholat, tapi tak pernah sholat. Selalu tidak paham dengan
perkataan Kiai.
“Aku bingug, tadi Kiai bilang, jangan sholat di langgar. Lah
itu orang-orang kampung kita kan sholat di langgar, berati selama ini yaa salah
to ?”
“Loh masa mas, kiai bilang begitu”
“Iya Sri, berarti selama ini orang-orang salah kaprah,
sholat yaa gak boleh di langgar kan ya, Sri ?”
“Iya mas, lah untung kita gak pernah sholat, jadi lak ya gak
salah to mas ?” Sri mereasa lega, setelah tadi berekrut, ternyata selama ini
Supar dan Sri benar untuk tidak sholat,
begitu pikir Sri.
“Iya bener to Sri, yaudah ini sudah magrib, sesajennya
segera ditaruh di sawah kita!” Sembari Supar menghabiskan teh miliknya.