
oleh Dhima Wahyu S
Demo mahasiswa terjadi hampir di pusat kota besar di Indonesia. Gelombangnya sudah sejak kemarin (24/9). setidaknya gejolak mulai membesar ketika ada aksi Gejayan Memanggil di Jogja, sampai Bengawan Melawan di Solo (25/9). Demo dipicu sentimen politik nasional. Dimana kebijakan RKUHP, revisi UU KPK dan tuntutan-tuntutan lain.
Di dalam kajian aksi di Gejayan terdapat istilah oligarki. Kata ini sering mucul. Setidaknya kata oligarki mucul sebanyak 23 kali. Konotasi dari kata olgarki sering bernada negatif atau bahakan sentimen. Sebenanya apa itu oligarki ?
Secara sedehana oligarki adalah mereka yang memiliki akses luas dan kuat. Baik akses politik, ekonomi bahkan kekuasaan. Orang sesmisal memiliki akses politik tentunya dengan mudah menduduki posisi tertentu. Namun tidak hanya sekedar menduduki posisi strategis di pemerintahan, ia juga bisa mengangkat dan menjatuhkan pejabat lain. Contoh kongkrit adalah naiknya Jokowi menjadi Gubernur Jakarta sampai jadi Presiden.
Waktu itu Jokowi hanya seorang wali kota yang sebelumnya menjadi pengusaha mabel. Beberapa analis, termasuk Ros Tasell dalam Media Power in Indonesia menyebut Jokowi naik lantaran media massa. Artinya melalui media Jokowi dikenal publik dengan Self Image sederhana dan merakyat. Ditambah tagline 'dari rakyat untuk rakyat'.
Namun kemenangan Jokowi tidak mungkin terjadi tanpa dua sosok oligarki, yaitu Megawati dan Prabowo. Kedua tokoh ini memiliki akses politik yang kuat, sekaligus memiliki pengaruh yang besar. Disisi lain Prabowo juga memiliki kekayaan yang besar, dalam laporan CNBC Indonesia disebutkan kekayaannya sebesar Rp 1,92 T. Sedangkan Megawati Rp 96.164.593.814 berdasarkan LHKPN pada 2014. Ini paket komplit bagi Prabowo dan Megawati untuk didefinisikan sebagai oligarki.
Prabowo dan Megawati sepakat membawa Jokowi bertarung di Jakarta, dan hasilnya cukup mengejutkan. Jokowi menang melawan Fauzi Bowo yang diusung partai terkuat saat itu, Demokrat yang dipimpin SBY.
Poinnya adalah, Prabowo dan Megawati memberikan akses kepada Jokowi yang bukan siapa-siapa. Hal ini juga terulang di Pilpres 2014 yang melawan pengusungnya sendiri ke Jakarta, Prabowo. Itulah kuasa oligari dalam pusaran politik praktis kita.
Sekalipun Megawati dan Prabowo memiliki akses ekonomi dan politik yang kuat. Numun pada kenyataanya mereka tidak sepenunnya memliki akses kuasa yang bisa mengendalikan pemerintah, hukum, dan parlemen. Namun dalam sejarah perpolitikan Indonesia pernah memiliki sosok super power. Kalau mau menggunakan bahasa yang hiperbola, sebut saja 'bosnya para oligark', yaitu Soeharto.
Soeharto, Bosnya Para Oligarki
Soeharto mendapat mendat untuk mengamankan negara dalam insiden 30 September. Pada saat itu terjadi intrik politik yang tinggi. Higga keluar surat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada 1966. Surat itu berisi untuk melakukan tindakan yang perlu agar situasi keamanan nasional stabil. Melalui peristiwa ini Soherto banyak dikenal publik.
Dua tahun setelahnya, tapat pada 26 Maret 1968, MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) mengankat Soeharto menjadi presiden menggantikan Soekarno. Dengan ini menandakan berkhirnya era demokrasi terpimpin dan memasuki Orde Baru (Orba).
Di masa Soekarno terdapat Undang-Undang No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang kemudain dianggap bermasalah. UU Subversi ini keluar atas respon kondisi politik global yang memanas anatara blok timur dan barat. Ancaman ideologis berkali-kali muncul.
UU Subversif ini justru menjadi peraturan yang 'ngaret'. Beberapa aktivis dan opoisisi yang diangap mengancam revolusi pada masa Soekarno dihukum. Sampai terdapat tahanan politik yang dipenjarakan oleh rezim.
Pada masa Orba, UU Subversif ini tetap berlanjut dan dipertahankan. Ini yang membuat Soeharto laluasa untuk memenjarakan lawan politiknya dengan dalih 'mengangu pembangunan nasional'.Yang jelas menjadi korban adalah aktivis kiri. Kebanyakan dari mereka dihukup tanpa diadili.
Selain itu Soeharto mampu mengkontrol sepenuhnya akses ekonomi. Pada masa Soeharto, orang ketika mau mebuka lahan harus datang ke Soeharto untuk mendapatkan konsesi. Jika tidak maka tidak mungkin mendapatkan ijin usaha.
Dalam hal politik Soeharto menyederhanakan partai politik menjadi tiga, P3 dari kalangan Santri, PDI dari kalangan Abangan, dan Golkar dari kalangan Priyayi. Penyederhaan ini pada dasarnya bertujuan untuk melemahkan parpol. Sabab sekalipun terdapat wadah untuk kaum Santri. Namun Eks pimpinan Masyumi dilarang menjadi ketua partai. Ini menandakan keleluwasaan Soeharto mengatur parpol.
Soeharto menjadi sangat super power karena mempunyai akses yang kuat terhadap ekonomi, politik, dan kekuasaan. Bahkan Soeharto mampu mengatur para oligarki.
Oligarki pada dasarnya adalah penyakit dari demokrasi. Fenomena seperti ini banyak terjadi di berbagai negara. Termasuk Indonesia, yang hari-hari ini semakin nampak. Meski Bosnya sudah tidak ada lagi, justru mereka semakin leluasa untuk membangun kepentingan dirinya sendiri. (Editorial)