
Dhima W Sejati
Radikalisme kini menjadi isu utama yang diangkat pemerintah. Presiden Jokowi menginginkan Indonesia bersih dari paham radikalisme. Lalu merembet ke rencana menteri agama melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang bagi ASN. Alasanya sederhana, lagi-lagi karena radikalisme. Akhir-akhir ini, di media juga dipenuhi berita bom dan terorisme, tentu pangkalnya adalah radikalisme.
Persoalan radikalisme merupakan barang lama yang berkali-kali dibahas, saya yakin kedepan aka nada lagi headlinenya di media, tergantung momentum. Namun, ada satu yang justru luput dibahas. Persoalan mispersepsi kata radikal itu sendiri. Seringkali radikal berkonotasi negatif. Radikal diasumsikan sebagai sebuah tindakan yang menimubulkan aksi terorisme. Motifnya adalah mengganti dasar negara. Orang yang terpapar radikal adalah dia yang anti Pancasila dan anti NKRI.
Tentu saja saya setuju aksi teror-meneror adalah tindakan yang salah. Namun saya sebagai seorang akademisi tidak setuju dengan penggunaan kata radikal. Pengertian radikal yang selama ini dipahami tidak sejalan dengan makna yang sebenarnya. Radikal sebenarnya berasal dari kata radic yang artinya mengakar. Dalam konteks akademik, memiliki pemahaman yang radikal adalah sebuah keharusan.
Kita ambil contoh, saya adalah mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, saya belajar kajian semiotika. Pemahaman yang radikal tetang semiotika membuat saya tidak hanya sekedar hafal pengertian, namun juga paham konsep dasarnya, paham metodologi, sampai paham penerapan praktis.
Dengan saya memiliki pemahaman radikal tentang semiotika, saya secara sadar bisa menganalisis sebuah berita. Tidak hanya itu, semiotika juga bisa digunakan untuk menganalisis simbol di sebuah bangunan seperti keraton. Inti dari semiotika adalah simbol. Sedangkan benda-benda di sekeliling kita memiliki makna atas simbol itu sendiri.
Poin yang ingin saya tekankan adalah dengan pemahaman yang radikal justru orang bisa dengan jeli dan kritis melihat fenomena tertentu, yang paling penting tidak gumunan. Gumunan dalam Bahasa Indonesia diartikan keheranan, atau lebih tepatnya terlalu latah menanggapi isu. Jatuhnya, nanti malah mudah menghakimi dan mudah termakan berita hoax.
Memiliki pemahaman yang radikal seharunya tidak membuat orang melakukan aksi bom bunuh diri. Apalagi motifnya dikait-kaitkan dengan Islam, itu tambah mengherankan.
Saya berani mengatakan memiliki pamahaman yang radikal tentang agama justru membuat orang semakin saleh. Saleh sosial sesama manusia dan seleh spiritual dengan Tuhan. Artinya pemahaman radikal tentang agama akan memunculkan perilaku baik terhadap Tuhan dan sesama. Dengan demikian tidak mungkin akan melakukan dosa berat yang dilarang Tuhan, yaitu bunuh diri dan melukai sesama manusia.
Selain radikal, kebanyakan orang juga salah menempatkan kata fundamental. Padahal fundamental artinya fondasi. Memiliki pemahaman agama tentu saja harus fundamental atau memiliki fondasi yang kokoh.
Apa itu fondasi yang kokoh ? dalam konteks keislaman berarti memiliki aqidah yang kuat. Justru, orang yang fundamental terhadap agama adalah orang yang paling kuat pendiriaanya untuk mengimplementasikan ajaran islam yang rahmatan lil alamin. Seorang yang fundamentalis tidak mungkin melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Apalagi meneror sana-sini dengan dalih agama.
Seperti bangungan, sebagai muslim juga harus memiliki fondasi yang kuat. Fondasi yang kuat ini didapat dengan cara memahami dasar-dasar agama. Dalam istilah akademis disebut sebagai ushuluddin, yang mencakup aqidah, filsafat islam, ushul fiqh, ulumul qur’an dan lain-lain. Jika pengertianya seperti itu, tentu idealnya muslim harus fundamental. Sayangnya kata radikal dan fundamental sudah terlanjur disalah artikan. Membuat dua kata tersebut panas untuk didengar dan berbaya untuk dilakukan.
Ada isitlah lain yang lebih tepat ketimbang menggunakan kata radikalisme, yaitu ekstremisme. Saat ini wacana global menyebut tindakan anti-teror sebagai counter violence extremism, melawan ekstremisme yang menggunakan kekarasan. Istilah ini lebih tepat sasaran dan kongkrit. Pengertian ekstremisme mencakup tindakan kekerasan yang lebih luas.
Jika selama ini seakan yang disebut sebagai radikal hanya pelaku bom atas dasar jihad, istilah violence extremism mencakup semua tindakan kekerasan berat dengan berbagai motif. Misal ada orang yang membutuhkan uang, lalu ia memilih melakukan perampokan di sebuah rumah sampai jatuh korban. Pelaku juga bisa disebut ekstremisme. Ia melakukan tindakan kekerasan terhadap pemilik rumah dan melakukannya dengan motif ekonomi. Istilah ekstremisme menurut saya lebih adil dan tepat sasaran.
Pentingkah isu radikalisme diangkat ?
Setelah membedah kata radikal yang ternyata penggunaannya salah kaprah, sekarang mari ditanyakan kembali, apakah isu radikalisme itu penting untuk diangkat ?
Saya merasa isu ini kontra produktif. Sebab orang pusing dengan pengertian tidak jelas tentang radikal. Termasuk wacana menteri agama untuk menangkal radikalisme sebagaimana instruksi langsung dari presiden.
Pada akhirnya hanya membuat gaduh, sebab kegagalan menggeneralisasi (fallacy of hasty generalization) cadar dan celana cingkrang.
Selain istilah kata yang tidak tepat, indikasi radikal juga kurang jelas. Ini membuat kata radikal sering salah sasaran, sebagaimana yang saya contohkan di atas, pakaian menjadi tolak ukur seorang dikatakan radikal.
Jika indikasinya sesepele itu, cap radikal akan mudah salah sasaran, seolah-olah hanya muslimah bercadar dan muslim bercelana cingkrang yang berpotensi melakukan teror.
Belum lagi pengajian-pengajian yang dibubarkan atau mubalig yang dilarang oleh kelompok tertentu karena dianggap terpapar radikalisme. Padahal belum tentu, bisa jadi justru tempat kajian itu lebih ilmiah. Namun hanya karena persoalan kalah eksistensi malah jadi saling tuduh radikal. Untuk itu, isu radikalisme sebenarnya tidak produktif sama sekali dan hanya menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Lebih baik isu dialihkan ke bidang ekonomi dan sosial. Misal regulasi penanganan limbah pabrik di lingkungan padat penduduk. Atau isu para buruh di beberapa pabrik kecil masih menanggung beban kerja yang berat dengan gaji sedikit. Persoalan-persoalan kesejahteraan para buruh belum secara tuntas dibahas, namun kita buru-buru beralih isu.
Jika ingin isu yang lebih seksi, angkat saja isu tentang korupsi dan pelemahan KPK. Nasib revisi RUU KPK ditinggal begitu saja. Kita sibuk mengawasi siapa yang paling radikal, namun luput mengawasi siapa yang melemahkan KPK.
Padahal potensi masalah yang ditimbulkan dari pelemahan KPK justru lebih besar ketimbang isu radikalisme yang masih semu. Tadi dua isu yang saya pilih, namun saya kembalikan kepada Anda mau pilih isu yang mana, atau mau mengangkat isu yang lain, silahkan.