
Oleh : Egi Raf
Kartasura, ibu kota baru kerajaan
Mataram paska pemberontakan Trunajaya di Plered. Keraton baru yang didirikan
atas berbagai pertimbangan, seperti ketersediaan air, dan letaknya yang tidak
jauh dari tanah leluhur; tanah Pajang. Wilayah yang menjadi saksi kebahagiaan,
maupun kisah-kisah tragis.
Pada mulanya, jauh sebelum
keraton Kartasura berdiri, Raden Hadiwijaya atau yang lebih dikenal Jaka
Tingkir dari Pajang memberi utusan untuk membumi-hanguskan Jipang yang dipimpin
Arya Penangsang dengan memerintah orang kepercayaannya, yaitu Ki Pamanahan dan
Ki Penjawi. Atas keberhasilan penyerangan itu, Ki Pemanahan diberi hadiah alas
Mentaok yang kelak berdiri sebuah kerajaan, dan Ki Penjawai mendapat hadiah
tanah di Pati.
Seiring berjalannya waktu, Ki
Pemanahan menjadi pemimpin desa Mataram dengan gelar Ki Ageng Pemanahan. Tampuk
kekuasaannya diteruskan putranya bernama Sutawijaya setelah sepeninggalannya,
lalu Sutawijaya selaku pemimpin desa Mataram menjadi raja di keraton baru
bergelar Panembahan Senopati. Raja pertama negeri Mataram Islam.
Dari situ, tahta kerajaan terus
diwarisi anak cucunya. Tahta Panembahan Senopati dilanjutkan Raden Mas Jolang
atau Panembahan Seda Krapyak (Raja yang meninggal di Krapyak), di lanjutkan
Panembahan Merta Pura yang memerintah dalam jangka waktu yang sangat pendek
karena masalah kesehatan. Kemudian digantikan Raden Mas Rangsang atau Sultan
Agung Hanyokrokusuma yang memindahkan pusat pemerintahan dari Mentaok atau Kota
Gede ke Karta, di lanjutkan Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau Amangkurat I
memindahkan pusat pemerintahan dari Karta ke Pleret, kemudian kekuasaan
dilanjutkan putranya Sri Susuhunan Amangkurat II atau Sunan Amral yang juga
memindahkan pusat pemerintahan dari Karta ke hutan Wanakarta.
***
Pemindahan keraton lumrah terjadi
di kerajaan-kerajaan tanah Jawa. Orang Jawa terdahulu mempercayai jika sebuah
kesialan telah jatuh di suatu negeri, maka negeri tersebut tidak akan makmur,
dan dengan segera pemindahan ibu kota dilakukan untuk memutus kesialan
tersebut. Hutan Wanakarta, tempat yang terpilih lantaran tidak jauh dari tanah
leluhur: Pajang, dan tanah yang belum dihuni dianggap layak sebagai penganti
ibu kota baru.
Di ambil dari beberapa sumber,
Sri Susuhunan Amangkurat II berpenampilan layakanya orang Belanda, maka
penyebutan nama Sunan Amral disematkan kepadanya. Juga di kisahkan polemik awal
perpindahan ibu kota Kerta ke Kartasura, Pangeran Puger yang masih saudara
kandungnya dihasut pernyataan bahwasanya Susuhunan adalah orang asing yang
dibawa Belanda ke tanah mataram. Maka, atas informasi yang salah itu membuat
Pangeran menolak ajakan untuk bergabung ke dalam Keraton baru di Wanakarta. Ibu
kota baru yang lalu diberi nama Kartasura.
Perang saudara pun terjadi. Untuk
menghentikan itu, seorang adipati Mataram meyakinkan jika Susuhunan adalah saudara
kandungnya. Kemudian Sang Pangeran pun bersedia pergi ke Kartasura dengan
syarat Susuhunan harus melepas pakaian Belanda dan menganti dengan pakaian adat
Mataram sendiri. Susuhunan pun menyetujui permintaan tersebut. Kekuasaan sang
Susuhunan ditegakkan dan ketentraman negeri Mataram pun berlangsung hingga
beberapa tahun.
Di dalam kedamaian muncul seorang
tokoh baru, di kenal dengan gelar Surapati. Sang tokoh yang bernama asli
Untung, mantan pesuruh Belanda, sekaligus musuh bebuyutan Belanda datang ke
Kartasura untuk meminta perlindungan, sekaligus bantuan untuk melawan Belanda
dengan cara mengabarkan dan menawarkan diri untuk menghabisi para kraman atau
pemberontak di wilayah Banyumas. Susuhunan pun menyetujui dan memerintahkannya
untuk melaksanakan tugas. Hari-hari berlalu, Untung kembali ke Kartasura dengan
membawa dua buah kepala pemberontak, dan dia diterima sangat gembira oleh Sang
Susuhunan.
Kabar keberadaan Untung di
Kartasura terdengar Belanda. Mendengar itu, Belanda meminta Susuhunan untuk menyerahkan
Untung, namun ditolak, akan tetapi Belanda dipersilahkan menangkap Untung
Surapati di wilayah kekuasaan Mataram. Kemudian Belanda mengirim pasukan yang
dipimpin Kapten Tak, terdiri dari empat ratus orang eropa dan enam ratus
tentara pribumi.
Mengetahui pasukan Belanda telah
datang, Susuhunan membuat perencanaan dengan mengatakan jika Untung telah
membuat keributan di negerinya. Ke esokan harinya, di alun-alun pasukan Kapten
Tak berperang melawan pasukan Untung. Melihat pasukan Untung berhasil dipukul
mundur, atas perintah Susuhunan, Pangeran Puger mengirim bala bantuan dan
dibantu penduduk kota. Akhirnya, pasukan Tak berhasil dikalahkan. Kapten Tak
tewas dengan tusukan di leher oleh tombak pusaka milik Pangeran Puger.
Tidak lama setelah itu, Susuhunan
meninggal dunia akibat sakit keras. Mahkota kedudukannya dilanjutkan putranya
Raden Mas Sutikna atau Sri Susuhunan Amangkurat Mas atau disebut Amangkurat
III.
Dalam masa kepemimpinan
Amangkurat III, perebutan tahta penguasa terjadi dengan putra Amangkurat I,
Pangeran Puger. Susuhunan memerintah utusannya untuk menangkap Pangeran Puger
di Semarang, tapi mendapat kabar jika Pangeran telah berada di bawah
perlindungan Belanda sehingga membuat Susuhunan murka. Kemudian Susuhunan
memerintah sesegera mungkin menangkap Raden Suria Kusuma, putra Pangeran Puger,
untuk dibunuh. Tapi setiap ingin melancarkan aksinya, gunung merapi selalu
bergejolak sehingga membuatnya berubah pikiran, dan mempercayai peristiwa itu
adalah garo-garo, atau pertanda Pangeran tersebut disukai Tuhan. Maka, Sri
Susuhunan Amangkurat Mas mengubah tujuannya dengan memperlakukan putra Pangeran
Puger dengan baik.
Menjelang akhir hayat, Amangkurat
Mas diasingkan ke Sri Langka. Tampuk kekuasannya digantikan Pangeran Puger,
yang setelah naik tahta bergelar Susuhunan Pakubuwana Senapati Ingalaga Abdul
Rachman Panatagama, atau umumnya disebut Pakubuwana I. Pada masa
kepemimpinannya, dihadapkan perjanjian-perjanjian yang tidak menguntungkan
dengan pihak Belanda, seperti kewajiban untuk mengirim 13.000 ton beras setiap
tahun selama 25 tahun ke Batavia, sebagai ganti atau balas jasa ke pihak
Belanda yang telah mendukung melenggangkan kekuasaannya.
Kemudian, tampuk kekuasaan
dilanjutkan putranya yang bernama Raden Mas Suryaputra bergelar Sri Susuhunan
Prabu Amangkurat Jawa atau disingkat Amangkurat IV. Pada masa Amangkurat IV,
perang suksesi Jawa kedua terjadi. Perang saudara memperebutkan takhta
Kartasura menyebabkan rakyat Jawa terpecah belah. Sebagian memihak Amangkurat
IV yang didukung Voc, sebagian memihak Pangeran Blitar, sebagian memihak
Pangeran Dipanegara Madiun, dan sebagian lagi memihak Pangeran Arya Mataram.
Setelah berhasil menghentikan perang suksesi ke dua, Susuhunan meninggal dunia.
Sepeningalan Amangkurat IV,
kekuasaannya dilanjutkan putranya yang berusia 14 tahun dan belum menikah,
bernama Raden Mas Prabasuyasa bergelar Susunan Pakubuana Senapati Ingalaga
Abdul Racham Sahedin Panatagama atau lebih dikenal Pakubuwana II. Pada masa
kepemimpinan inilah, Geger Pecinan terjadi, atau Pemberontakan yang dilakukan
orang-orang Tionghoa.
Orang-orang Tionghoa yang
mendapat perlakuan tidak mengenakan dari orang-orang Belanda di Batavia meminta
bantuan Kartasura. Pakubuwana II pun mengirim prajurit tangguh untuk membantu
kaum pemberontak mengepung kantor VOC di Semarang.
Pakubuwana II yang bersitegang
dengan Belanda pada akhirnya berdamai setelah terjalin kesepakatan mengakhiri
peperangan. Mendengar perdamaian itu, kaum pemberontak Tionghoa merasa kecewa,
kemudian mengangkat raja baru, Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Seorang
cucu Amangkurat III yang baru berusia sekitar 10 tahun, dengan gelar Susuhunan
Mangkurat Mas Prabu Kuning atau Amangkurat V. Mayoritas pemberontak kini bukan
lagi kaum Tionghoa, melainkan orang-orang Jawa anti Belanda, yang semakin
banyak bergabung.
Atas dasar kekecewaan orang-orang
Tionghoa, dan orang-orang Jawa anti Belanda, serta mendapat bantuan pangeran
Cakraningrat IV dari Madura yang menginginkan Madura lepas dari kekuasaan
Kartasura. Mereka melakukan penyerangan ke Ibu Kota Kartasura. Membuat
Susuhunan dan orang-orang Belanda harus mengungsi selama 4 bulan.
Dalam persembunyian, Susuhunan
mendapat bantuan dari Belanda dan raja Madura. Atas bantuan itu, berhasil
mengusir Sunan Kuning yang menjadi pemimpin baru di Kartasura berserta pasukan
Tionghoanya. Kemudian Susuhunan kembali ke kerajaannya di Kartasura. Namun
sekembalinya Susuhunan, raja Madura mengangkat Pangeran Angebai yaitu adik
laki-laki Susuhunan menjadi raja tanpa sepengetahuan Susuhunan. Membuat
Susuhunan harus pergi lagi dari Ibu Kota kerajaannya sendiri.
Kemudian, atas berbagai
perundingan antara Susuhunan dan Belanda, mereka mempertanyakan maksud tindakan
raja Madura yang seolah mengambarkan jika Susuhunan patuh atas permintaan raja
Madura.
Orang-orang Tionghoa dan
pemberontak pribumi yang menetap berbulan-bulan di tempat pelarian semenjak
kalah berperang dimaafkan Susuhunan. Pengampunan besar-besaran tidak mereka
sia-siakan.
Beberapa bulan setelah kejadian
itu, berdasar adat-istiadat jika keraton telah diduduki musuh tidak baik
dilanjutkan sebagai pusat jalannya sistem kepemerintahan. Maka, pemilihan ibu
kota baru dilakukan. Ibu kota Kartasura pun berpindah ke Sala.