Oleh : Egi Raf 
(Pemerhati sejarah dan budaya Kartasura)

Kawarnaa Kangjêng Sri Bupati sasirnane wau mêngsah Cina wus kondur malih ngadhaton miwah wadyabalagung pra santana Mantri Bupati tanapi wong walônda wus samya umantuk mring wismane sowang-sowang nanging dahat risakipun kang nagari tangêh môngga puliha.

Setelah pemberontakan berhasil ditumpas dan keraton kembali direbut, raja dan para punggawa serta para balatentara kembali ke keraton dan kediaman masing-masing. Namun mereka mendapati tempat mereka sudah rusak parah, tak mungkin dipakai sebagai kotaraja pusat pemerintahan. Kesucian bangunan istana telah dicemari oleh musuh.

 Sebuah kisah menyedihkan tertulis dalam Babad Giyanti karya Yasadipura. Kepercayaan turun-temurun apabila keraton sudah diduduki musuh harus dipindah pusat kepemerintahannya. Peristiwa boyong Kedaton yang terjadi tahun 1745. Susuhunan Pakubuwana II diikuti kawulanya menuju keraton baru di Sala.

Setelah Kartasura bêdhah, keraton ngalih dhatêng Sala, (bekas) Ibu Kota mulai ditumbuhi pohon-pohon sehingga sulit ditemukan. Tidak berpenghuni selain binatang-binatang liar seperti menjangan. Dalam Pawarti Surakarta (1939) 50 ribu orang (limang leksa) terdiri dari Raja, abdi dalem, sampai Rakyat Keraton Kartasura pergi meninggalkan Kartasura. Dalam AS Widada (1976), menerangkan Kandang Menjangan digunakan khusus hewan rusa. Membuka anggapan kewan yang dikurung di Kandang Menjangan mbedal sebab pagar (kandang) yang terbuat dari balok kayu jati lapuk tidak terawat.

Menurut Mas Ngabehi Suryo Hastono juru kunci ke 10 Keraton Kartasura, pada tahun 1811 Pakubuwono IV menugaskan beberapa orang untuk mencari Ibu kota lama.  Setelah menemukan bekas ibu kota yang banyak di tumbuhi rimbuh pepohonan, para abdi dalem melakukan resik-resik memakan waktu kurang lebih 5 tahun. Resik-resik bukan hanya babati wit-witan liar, melainkan juga menangkap menjangan liar, kemudian dikandangkan di tempat yang diberi nama Kandang Menjangan.

Para abdi yang babat alas keraton kemudian menetap di Kartasura. Mengemban tugas merawat dan menjaga sisa-sisa peninggalan diantaranya benteng Srimaganti dan benteng Baluwarti.

***

Ratusan tahun berlalu paska boyong kedaton tradisi sambatan mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat jawa abad 20an. Sambatan seperti rewangan ketika mantu, atau rewangan ketika salah satu keluarga atau tetangga membuat hajatan, sambatan ketika mendirikan rumah, dan sambatan membersihkan lingkungan tempat tinggal. Sebuah kebiasaan gotong royong menumbuhkan rasa kekeluargaan dan tangungjawab bersama yang perlu terus dibangkitkan. Gerakan merawat tradisi gotong royong yang terus disuarakan, salah satunya melalui acara "Kartasura Bergerak."

Berawal dari rasa memiliki dan keperihatinan melihat bekas ibu kota Mataram yang tidak terawat, beberapa 'masyarakat yang peduli' membuat sebuah pergerakan dengan tajuk "Kartasura Bergerak: Luwih Becik Resik-resik." Tujuan utama membersihkan situs peninggalan Mataram yang berada di benteng Srimanganti Keraton Kartasura.

 Kegiatan yang berlangsung pada Minggu, 23 Februari 2020 (kemarin) turut dihadiri masyarakat Kartasura, Masyarakat Colomadu, organisasi maupun komunitas meliputi Pawartos, Gas Pol, Psht, Banser, Janmales, Seri, Sedulur Sak Lawase, Omah Ulo, dan jajaran TNI Polri, serta masyarakat, organisasi maupun komunitas yang belum disebutkan diatas.

Melalui acara ini seakan diajak membayangkan masalalu sebelum keraton Kartasura berdiri (hutan Wanakarta) dan beberapa puluh tahun setelah Kartasura boyong kedaton sebelum dibersihkan. Membayangkan kondisi lebatnya hutan wanakarta, dan membayangkan keraton Kartasura yang menjadi alas keraton paska boyong kedaton.

Besar harap dihari-hari depan mampu menumbuhkan rasa memiliki yang lebih akan situs-situs bersejarah khususnya di Kartasura dengan terus diadakan acara serupa.