Oleh Egi Raf (Pemerhati sejarah dan budaya Kartasura)

Bagi masyarakat Jawa lawas sajen atau sesaji dianggap penting dalam ritual sakral yang menghubungkan manusia dengan Tuhan dan dunia gaib. Sajen sebagai manifestasi permohonan dan rasa terimakasih kepada Gusti Kang Murbo Ing Jagat. Pengambaran rasa syukur dan permohonan disimbolkan dalam isi pelengkap dalam sajen, sekaligus menjadi penghubung dunia gaib yang dipercaya sebagai saudara penjaga teritorial dimana tradisi sakral itu dilaksanakan.

Permohonan dan rasa syukur kepada Tuhan diawali niat dan keikhlasan menyisihkan rejeki untuk membelanjakan uborampe sesaji, kemudian menaruh sesaji atau melarungkan ke sungai. Perlu digaris bawahi, dalam upacara tradisi hanya Gusti Kang Maha Tunggal yang dijadikan sesembahan, tidak ada yang lain. Bukan pula sebagai pemborosan atau menyia-yiakan rejeki. Masyarakat Jawa meyakini sedekah tidak hanya diberikan kepada sesama manusia saja, melinkan kepada segala sesuatu yang menghuni alam juga. Secara tidak langsung, sesaji memberi arti jika manusia harus bersanding harmonis dengan alam.

Sedangkan penghormatan kepada sedulur gaib didasari kepercayaan sedulur papat lima pancer. Kepercayaan bahwa setiap orang memiliki saudara gaib yang berada di empat penjuru angin, atau disebut papat, sedangkan pancer adalah diri sendiri.  Pengertian sedulur papat lima pancer ada yang mengarah ke kakang kawah (air ketuban) adik ari-ari (plasenta). Air ketuban bermakna saudara lebih tua karena keluar lebih dahulu sebelum jasad bayi, dan plasenta bermakna saudara lebih muda yang keluar bersama jasad bayi. Kemudian yang ketiga darah dianggap saudara. Tanpa darah manusia tidak bisa hidup. Dan ke empat pusar sebagai penyalur pasokan makanan. Ke empat saudara itu dipercaya menjaga manusia sampai mati.

Selain itu, keyakinan setiap teritori memiliki penjaga seperti penjaga laut, penjaga sungai, penjaga gunung, penjaga pohon, penjaga batu, dan lain sebagainya mendorong masyarakat Jawa lawas selalu menjaga perilaku di manapun berada sebagai bentuk penghormatan sesama makhluk Tuhan, bukan bentuk rasa takut. Serta masyarakat Jawa mempercayai masih ada ikatan dengan para leluhur yang sudah berada di alam gaib. Maka, saling tegur sapa dilakukan dengan cara memberi sesaji di tempat-tempat seperti itu, serta memberi sesaji yang dikhususkan untuk sedulur papat dan leluhur.

Namun dewasa ini, ritual tradisi yang menyertakan sesaji sebagai syarat wajib perlahan ditinggalkan, bahkan ada anggapan tradisi tersebut irasional dan kuno atau tidak selaras dengan modernisasi. Anggapan tersebut muncul lantaran banyak orang hanya mengenal sebatas kulitnya. Padahal kalau dicermati budaya peninggalan nenek moyang yang adiluhung itu banyak memberi manfaat untuk pelaku tradisi, masyarakat umum dan alam.

Untuk mengenal makna uborampe sesaji tidaklah mudah seiring jarang sekali dijumpai berbagai jenis upacara yang menyertakan sesaji sebagai pelengkapnya. Banyak orang mengenal uborampe sesaji hanya sebatas bunga dan kemenyan saja, lebih dari itu seperti makna dan uborampe lainnya tidak dikenal sebegitu dekat.

Jenis-jenis sesaji diperuntukkan sesuai tujuan. Sajen untuk sedulur papat lima pancer, sajen weton untuk diri sendiri, sajen setiap bulan sekali, dan uborampe seperti jajanan pasar yang kerap dijumpai dalam berbagai macam sesaji memiliki makna berbeda-beda sesuai jenis upacara tradisi.


1. Sajen Untuk Sedulur Papat Lima Pancer

Masyarakat jawa lawas meyakini makhluk gaib memiliki sifat sebagaimana manusia, yaitu iri, dengki, dan rasa terimakasih. Dalam pelaksanaannya agar hubungan sesama makhluk selalu harmonis harus dilakukan tradisi tegur sapa. Begitu juga kepada sedulur papat lima pancer. Ada beberapa versi berbeda mengenai pemahaman sedulur papat lima pancer. Di sini pengertian sedulur papat lima pancer lebih di ambil ke arah sedulur yang berada di empat penjuru mata angin. Uborampe sesaji sedulur papat dibedakan sesuai letak wilayahnya, meski dalam perbedaan tersebut memiliki makna yang sama.

Barat
Sedulur Sinotobrata. Sesaji Sega Kuning berbentuk gunungan sebagai simbol penghormatan sedulur yang berada di barat. Warna kuning dihasilakan dari sari kunir secara tidak langsung mengambarkan keselarasan tradisi religius dengan alam, sekaligus mengambarkan permohonan kepada Gusti agar mendapatkan kesusesan laksana gunung emas yang tinggi.


Timur
Sedulur yang berada di sisi timur disebut Tirtanata. Sajen Sega Putih berbentuk tumpeng yang disajikan tanpa lauk pauk bermakna untuk menghormati saudara timur. Sega putih atau bisa disebut tumpeng alus juga memiliki makna permohonanan kepada Gusti supaya dijauhkan dari godaan yang tidak diinginkan.

Selatan
Sega Abang atau nasi putih yang dicampur gula jawa sehingga bewarna merah yang dibentuk tumpeng dimaksudkan menghormati sedulur selatan yang disebut Purbangkara. Di lihat dari bentuk yang mengkrucut seperti kedua tangan yang memohon kepada Gusti Allah.

Utara
Nasi hitam atau nasi putih yang diberi pewarna jelaga hingga berubah hitam. Orang Jawa lawas menyebutnya Sega Cemeng. Tumpeng Sega Cemeng memiliki arti sama yaitu tegur sapa dan menghormati sedulur di utara atau yang disebut Warudijaya.

Selain empat uborampe di atas, Kupat Buncu Lima atau ketupat yang memiliki lima sudut berbentuk seperti bawang sering diberikan untuk sedulur papat. Kupat Buncu Lima melambangkan empat penjuru angin dan satu poros menjadi kiblat bermakna penghormatan kepada sedulur papat yang berada disekitar kiblat (manusia).

Penghormatan dengan media sesaji dibarengi doa-doa atau permohonan kepada Sang Pencipta yang dipimpin tetua atau diri sendiri. Kemudian sesaji dibagi-bagikan dan disantap bersama.


2. Sajen Weton Untuk Diri Sendiri

Adapun sesaji untuk diri sendiri bisa dilakukan 9 hingga 10 kali dalam satu tahun berdasarkan hitungan hari kelahiran dalam kalender Jawa (weton). Bancakan weton dilakukan agar diri terlepas dari mara bahaya, sekaligus bentuk ucap syukur atas umur yang melimpah kepada Gusti Allah. Uborampe sesaji meliputi Tumpeng Megana. Tumpeng Megana berbentuk nasih putih yang berbentuk kerucut dengan dilengkapi gudangan atau urapan lengkap dengan parutan kelapa. Tumpeng Megana bermakna agar diberi keselamatan dan dimudahkan mendapat rejeki. Nasi Kuning berbentuk kerucut melambangkan kemakmuran. Maknanya hampir sama dengan nasi Megana.

Jenang Abang atau bubur yang terbuat dari beras dicampur gula Jawa sehingga bewarna merah melambangkan penghormatan dan permohonan kepada orang tua agar selalu diberi kemudahan menjalani kehidupan. Kemudian Jenang Lemu terbuat dari beras memiliki arti selalu semangat menjalani kehidupan.

Dan jajanan pasar berupa Klepon, makanan ringan berbentuk bulat terbuat dari tepung ketan yang memiliki rasa manis dari gula jawa di bagian tengah memiliki makna kelembutan, ketepatan menentukan pilihan (tidak meleset), kesebaran menghadapi segala permasalahan, serta keuletan menyelesaikan pekerjaan.

3. Sajen Setiap Bulan Sekali

Sajen dijadikan media selamatan setiap bulan sekali mengikuti penanggalan dalam kalender Jawa. Selametan setiap bulan sekali dikhususkan untuk memuliakan dan mengenang tokoh-tokoh penting dan mencari ridho Gusti Allah dalam kehidupan masyarakat Jawa lawas. Menurut Wahyana Giri dalam buku Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) menjelaskan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta memiliki kebiasaan membuat sesaji setiap bulan untuk beberapa tokoh dan Hyang Maha Suci.

Seperti sajen bulan Suro uborampe berupa bubur yang dibuat dari tanaman kacang-kacangan dicampur biji buah delima bermakna memuliakan Husain (Cucu Rasulullah). Sajen bulan Sapar uborampe berupa bubur manis untuk memuliakan Abu Bakar yang merupakan khalifah pertama sepeninggalnya Nabi Muhammad. Sajen bulan Mulud berupa nasi lemak dan daging goreng bermakna memuliakan Kanjeng Nabi Muhammad. Sajen Bakdamulud berupa nasi gurih dengan lauk macam-macam untuk memuliakan Kanjeng Nabi Isa. Sajen Jumadilawal berupa nasi megana untuk memuliakan Kanjeng Nabi Yakub. Sajen Jumadilakhir berupa nasi golong untuk memuliakan Kanjeng Nabi Yusuf. Sajen bulan Rejeb berupa makanan serba basah untuk memuliakan Sayidina Ali. Sajen bulan Ruwah berupa nasi pulam dan lauk pindang ayam untuk memuliakan Kanjeng Nabi Adam dan Hawa. Sajen bulan Puasa dengan memberi makan kepada fakir miskin dengan niat beribadah kepada Gusti Allah. Sajen bulan Syawal membuat nasi kuning dengan lauk daging. Sajen Dulkaidah uborampe nasi Lagi disajikan dalam wadah takir (daun pisang dibentuk mengadah) dengan biting (batang kecil janur) untuk mengunci lipatan sebagai bentuk memuliakan Kanjeng Nabi Ibrahim, dan sajen bulan Besar untuk memuliakan Kanjeng Nabi Ismail berupa nasi kuning dan lauk daging goreng.

Uborampe yang tidak pernah ketinggalan dalam sesaji seperti dupa. Membakar dupa menjadi tanda telah dimulai upacara tradisi, sekaligus menjadi tali pengikat kepada Tuhan agar acara berjalan khusyuk. Dan masih banyak lagi uborampe sesaji yang serat makna.

Namun seiring berjalannya waktu tradisi selamatan perlahan ditinggalkan, bahkan ada anggapan tradisi tersebut kuno atau tidak sesuai dengan modernisasi. Padahal kalau dicermati budaya peninggalan nenek moyang yang adiluhung itu banyak memberi manfaat untuk pelaku tradisi dan masyarakat umum.