Oleh Dhima Wahyu Sejati
Covid-19, Coronavirus, Isolasi diri, lockdown dan segala macam istilah tetekbengek itu terdengar asing dan rumit bagi orang desa yang sederhana. Yang mereka pikirkan adalah memoles kayu, menanam padi, dan pergi kemasjid. Ah, kehidupan yang damai ini diganggu oleh pendemi yang entah kapan akan selesai.
Memangnya mereka tidak lihat berita di media ? mungkin iya, mungkin tidak. Sebab yang saya bicarakan adalah orang-orang desa yang rentan. Mereka tidak terlalu berpendidikan, tidak terpapar para Buzzer, bukan juga anak muda kuliahan yang keren itu.
Saya sempat resah ketika minggu pertama Solo mengumumkan sebagai KLB Corona, imbasnya kampus, sekolah dan beberapa kantor libur. Saat itu masih satu orang yang meninggal di RSUD Moewardi Solo.
Melihat situiasi di solo saya mewanti-wanti keadaan di desa. Hati saya mulai gusar, resah, gelisah capur aduk. Sebab desa saya walau masuk daerah Boyolali, tapi secara demografi letaknya berdekatan dengan solo, hanya sekitar 30 menit sudah sampai titik nol Kota solo, itupun santai kalau ngebut beda lagi.
Masyarakat kelas menengah ke atas di Desa juga kebanyakan menyekolahkan anaknya ke Solo. Ada juga yang bekerja sebagai tukang kayu, penjual, sampai guru yang juga di Solo. Secara sederhana, jika saya boleh menyimpulkan desa saya minimal masuk wilayah kuning. Bisa saja saya salah, karena saya juga tidak memiliki data apapun kecuali dari media.
Namun saya tetap merasa asumsi saya ini kuat karena logis. Saya juga berdikusi dengan salah satu kawan mahasiswa matematika UNS, dan ia juga mengiyakan logika saya. Mahasiswa jurusan matematika lo ya, sudah pasti logikanya terasah dong.
Maka saya beranikan untuk mengomentari lurah di laman facebooknya, dan jawabanya cukup singkat, “njih mas matursuwun”. Beberapa hari setelahnya tidak kunjung ada tindakan. Padahal saya mengharap ada tindakan antisipasi minimal sosialisasi dari kelurahan ke RT lalu ke warga. Persis seperti yang diusulkan saudari Annisa Dwi di Terminal Mojok.
Keresahan saya ini tidak datang secara tiba-tiba. Tapi melalui pengalaman yang empiris dan konkret di lapangan. Pokoknya saya mengalaminya sendiri. Setidaknya ada tiga momen.
Momen pertama. Satu ketika setelah selesai membantu belanja kebutuhan toko kolontong ke pasar, Saya sempatkan mampir ke tukang bubur ayam. Si bapak penjual sudah cukup tua. Hanya bermodalkan gerobag kecil dipinggir jalan tepat depan Alfamart. Penampakan yang cukup kontras kan ? yang belajar kapitalisme pasti tahu.
Sembari sibuk meracik bubur, ia bercerita tentang kondisi jalan dan pasar yang sepi, “mau esok lo mas, jam pitu mosok ijek sepi.”
Lalu saya balik tanya, “laa nopo bisane rame ?”
“Wah, rame mass.”
“Mungkin niku pak, lagi usum corona.” Canda saya ke bapak. Kita senyum renyah.
Saya pikir percakapan kita selesai di situ. Namun sebari bapak ini memberikan bubur yang sudah siap dibawa pulang. Ia nyletuk,
“Alahh mass, kersane gusti Allah. Mosok ngono wae wedi. Mati lak yo seng nentukne seng Kuasa to mas ?” ia seakan memberi kesimpulan sekaligus penegasan dari semua percakapan tadi. Saya iya kan saja.
Momen kedua, ketika saya lagi-lagi membantu ibu jualan kelontong di rumah. Seorang pelanggan bapak dua anak yang cukup dekat dengan keluarga kami. Keseharian ia menjadi tukang kayu di rumah, usaha kecil-kecilan yang sudah ia mulai bahkan sebelum saya lahir.
Seperti biasa ia membeli rokok Menara Merah besar. Layaknya orang desa pada umumnya, setelah bertegur sapa dan membeli rokok pasti akan ada percakapan basa-basi ala orang Jawa. Pertanyaan yang cukup standar.
“Kuliahmu wes rampung Dhim ?” tanyanya sembari membuka bungkus rokok.
“Dereng lek, paling yaa tahun iki. Laa iki yo prei goro-goro corona og lek,” Sengaja saya pancing, sekedar ingin tahu bagaimana tanggapannya terhadap situasi yang genting ini.
“Halah, kwi gor isu,” tanggapannya dengan nada yang sangat meyakinkan.
Kaget saya, di situasi seperti ini ternyata masih ada yang menganggap virus ini hanya sekedar isu. Itupun saya yakin yang dimaksid; sedang tidak terjadi apa-apa.
Momen ketiga, saat ssedang nongkrong di hek- atau di jogja desebut angkringan. Berempat, kami selesai main futsal dan mampir sekedar minum es teh dan ngobrol. Saya ngobrol bersama mahasiswa matematika tadi, langsung membahas isu corona. Berkali-kali kami menyoal kenapa pemerintah desa belum melarang kumpulan, pengajian dan kegiatan lainnya.
Sampai si penjual nyaut dan mengatakan kalau semua dilarang, bahkan jualan dilarang, masyarkat bukan mati karena corona, melainkan mati karena tidak bisa makan.
“Engko nek opo-opo ora oleh lak malah mati kaliren oo!” canda si penjual angkringan
Kami kompak tertawa, namun dalam hati saya miris juga ini nasibnya. Walaupun disampaikan dengan nada bercanda, realita itu benar adanya.
Seluruh orang di angkringan ini kompak, membahsa corona. Tidak ada topik lain, selama seminggu full kebanyakan warga di rumah, masjid, kantor kelurahan, dan tempat futsalan membahas corona. Tidak ada topik lain.
Poin saya adalah soal betapa mereka-meraka ini rentan. Berangkali ini sering disampaikan oleh para influencer. Saya hanya ingin ikut mengaskan lagi bahwa orang-orang di pasar, sawah, warung kelontong sampai angkringan kebanyakan tidak tahu apa itu corona, bagaimana cara mengatasi dan antisipasi. Boro-boro peduli, yang ada dipikiran mereka adalah kerja.
Makanya tugas kita bersama, apalagi kayak saya yang mahasiswa ini, ayok edukasi keluarga dan masyarakat soal virus ini. Jika ada yang dekat dengan mereka pasti lebih mudah. Berikan pemahaman yang tidak menggurui. Sekaligus berikan waham (sugesti) bahwa kita bisa melewati prahara ini.