Oleh Siwi Nur 

Dikisahkan dalam kebanyakan dongeng soal kerajaan, seorang ratu dan putri kerajaan selalu hidup berkecukupan dan memiliki pujaan hati yang setia, seorang pangeran tampan. Belum banyak kisah dongeng bernuansa monarki yang menggambarkan tentang betapa sulit menjadi seorang perempuan bangsawan yang tinggal di kerajaan megah, setidaknya sedikit.

Kisah seorang perempuan yang berjuang melawan ketidakadilan sistem monarki dan kentalnya patriarki baru tergaung ketika Kartini, Dewi Sartika dan masih banyak lagi perempuan hebat lainnya muncul ke permukaan. Jauh sebelum mereka, derita perempuan, khususnya di bawah kerajaan-kerajaan Jawa, terbungkam patriarki dan nilai-nilai sosial yang dianut lingkungan sosialnya. Seperti kisah Rara Mas Tantrum, selir kesayangan Amangkurat I.

Referensi mengenai sosok Rara Tantrum tak begitu banyak, ceritanya tersamar kelamnya masa pemerintahan Amangkurat I kala itu. Kompleks makam di puncak Gunung Kelir, Plered menjadi satu-satunya bukti nyata keberadaan Rara Tantrum yang tersisa kini.

Babad Tanah Jawi menyebut, Rara Tantrum adalah putri seorang dalang ternama dari Pajang bernama Ki Wayah. Di usia mudanya, ia sudah menemukan tambatan hati dan menikah dengan Ki Dalang Panjang Mas, Babad Tanah Jawi menyebutnya dengan nama Ki Dalem.

Dua insan ini saling mencintai satu sama lain, dan tak lama setelah mereka menikah, Rara Tantrum hamil. Di balik kisah cinta Tantrum dan Panjang Mas, ternyata ada sosok Amangkurat I yang diam-diam ingin memperistri Tantrum, walau ia sudah berstatus istri orang dan tengah hamil muda.

Kisah ini ditulisakan secara singkat lewat buku Babad Tanah Jawi. Amangkurat I tergila-gila akan kecantikan Tantrum yang tersohor. Singkat cerita, dengan kekuasaannya sebagai Raja, Amangkurat I bisa memboyong Tantrum ke Kraton Mataram dan dijadikan selir. Meski tengah hamil anak Panjang Mas, Amangkurat I tetap menyayangi Tantrum, bahkan diceritakan rasa sayang sang raja melebihi selir-selir lain dan sempat membuat permaisuri cemburu.

Cantik, berdarah bangsawan dan kini menjadi ‘perempuan’ kesayangan raja, bukankah seharusnya Tantrum bahagia? Ia mendapatkan kekuasaan dan apapun yang ia mau, kalau ia meminta. Sayangnya, kekuasaan dan kasih sayang raja bukanlah segalanya untuk Tantrum. Bahkan, setelah ia diangkat menjadi permaisuri dengan gelar Ratu Wetan, kebahagaian tetap tak ia dapatkan.

Tantrum terpisah dari suami yang ia cintai dan tengah mengandung buah cinta mereka. Nasib Tantrum setelah berada di kraton juga tak banyak diceritakan dan masih simpang siur hingga saat ini. Babad Tanah Jawi menceritakan, Ratu Wetan, atau selanjutnya dikenal dengan nama Ratu Malang, berhasil melahirkan seorang anak laki-laki. Walau bukan anak kandung, Amangkurat I sangat menyayangi si jabang bayi hingga gelap mata dan membunuh Panjang Mas, ayah kandung sang bayi.

Ki Dalem Panjang Mas akhirnya tewas, namun sangat minim sumber mengenai penyebab pasti kematiannya. Ada yang menyebut dibunuh oleh orang suruhan Amangkurat I, dan ada juga yang menyebut meninggal wajar karena sakit. Sampai saat ini, teka-teki meninggalnya sang dalang masih menjadi tanda tanya besar.

Kembali lagi ke Ratu Malang, yang telah menjadi ibu. Segalanya sudah ia dapatkan, namun kebahagiaannya terenggut jerat monarki dan patriarki. Ratu Malang tak bisa berbuat banyak dan hanya bisa meratapi kemalangannya menjadi permaisuri kesayaangan raja Mataram saat itu. Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan, Ratu Malang terus menangis dan bersedih pasca meninggalnya Ki Dalem Panjang Mas, hingga akhirnya meninggal.

Tak jauh beda dengan Ki Dalem Panjang Mas, kematian Ratu Malang juga meninggalkan teka-teki. Ada sumber yang menyebut, Ratu Malang meninggal karena diracun oleh selir-selir lain yang merasa cemburu. Namun, sumber tersebut tidak bisa dipercaya sepenuhnya.

Gambaran abu-abu kisah Ratu Malang, hanya segelintir cerita para perempuan Jawa di bawah sistem pemerintahan monarki dan patriarki yang mengekang. R.H. Widada dalam novelnya yang berjudul Gadis-Gadis Amangkurat, menggambarkan bagaimana kisah para perempuan Jawa yang hidup di zaman Mataram Islam dulu. Di dalam cerita itu, ada sosok Roro Oyi, sekilas tentang Ratu Malang dan perempuan Jawa lain yang berjuang dalam rasa takut.

Ketakutan ‘diambil’ oleh raja, entah dijadikan budak, selir atau gundik saja. Hidup sebagai perempuan di zaman itu, penuh dengan rasa was-was, tidak hanya rakyat biasa, tapi juga putri para bangsawan, bahkan ratu sekalipun.