Oleh Dhima Wahyu Sejati 

Semenjak Indonesia  mendeklarasikan dirinya sebagai bangsa maka akan ada konsekuensi. Sebab tidak ada bangsa yang anteng-anteng saja, adem ayem suatu negeri hanya ada di kisah Disney. Terpaan dan prahara akan silih berganti dan akan terus berlanjut untuk sekedar menguji, seberapa tangguh Indonesia sebagai bangsa. Mari kita tengok ke belakang prahara macam apa yang pernah dilewati dan sedang dihadapai.

Masa Revolusi 

Masa-masa revolusi merupakan puncak segala perjuangan kemerdekaan kala itu. Bayangkan nama-nama seperti M. Natsir, Mohammad Hatta, Soekarno, Tan Malaka, dan masih banyak lagi dari kalangan kiri, kanan dan tengah. Semua haluan dan aliran politik meneriakan visi yang sama, yaitu revolusi untuk mencapai kedaulatan dan kemerdekaan.

Pernah membayangkan atau tidak hidup di masa-masa sulit ini. Makan apa adanya, kerja paksa, tanam paksa. Cara kerja imperialis klasik ala Belanda sungguh kejam kawan-kawan. Bagaimana tidak ? lawong siembah kita disuruh nanam rempah-rempah dengan pajak tinggi dan tidak diumpah.

Boro-boro digaji, diberi makanpun tidak. Jadi jangan terlalu dramatis ketika para penulis yang budiman ini honor nulisnya tidak turun-turun. Siembah kita lebih sengsara lagi, tidak ada honor atas jerih payah dan keringat mereka. Kejam sekali!

Saya tadi sempat menyinggung imperialis klasik. Emang apa ? sederhananya, imperialis klasik itu ketika Belanda mengangkut segala apa yang ada di tanah jajahan –pada waktu itu yang utama rempah-rempah, untuk membangun kerajaan mereka, tapi Indonesia tidak dikasih apa-apa, tidak dibangungkan apa-apa. Siembah kita hanya disuruh nguli, ngerikan?!

Imperialis klasik ala Belanda ini selesai berkat upaya diplomasi, perang wilayah, dan wacana-wacana politik lain. Juga berkat partai politik, ormas, dan komunitas yang kontra dengan Belanda inilah rovolusi dapat dicapai. Setidaknya tahun 1950an, revolusi membuahkan kedaulatan dan kemerdekaan.

G30S

Bukan berarti ketika kendali pemerintahan sudah beralih ke Indonesia kemudain tidak ada masalah. G30S menjadi momen kolektif kita. Ternyata masih ada saja masalah politik yang cukup rumit kala itu.

Pemberontakan PKI berujung pembunuhan para jendral revolusi membuat gaduh.

Keamanan nasional terancam dan krisis politik yang miris, membuat Soekarno harus mengeluarkan Supersemar (surat perintah sebelas maret) yang isinya memerintahkan Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu. Tujuannya tentu memulihkan keamanan nasional. Singkat cerita (detailnya baca buku sejarah) keamanan kembali pulih berkat jasa Soeharto-tentu ini versi buku LKS (baca: pemerintah) loo yaa.

Entah kenapa setelahnya Soeharto berani naik menjadi presiden dengan dasar Supersemar itu. Dikemudian hari (setelah reformasi), banyak bukti ditemukan bahwa rezim Soeharto membuat mala pelapetaka baru, dengan membantai siapapun yang diduga komunis, tanpa ampun dan tanpa persidangan, peristiwa berdarah yang masih diperdebatkan sampai sekarang.

Krisis Moneter 98 dan Reformasi

Saya tidak bisa pungkiri masa demokrasi otoriter ala Soeharto memiliki fase emasnya sendiri. Ketersedian dan swasembada beras kita diakui apik. Selain itu melalui propaganda yang ciamik ala Orba, mereka mampu mengkampanyekan program KB sampai ke pelosok negeri. Di situ, Soeharto mampu menekan angka pertumbuhan penduduk.

Masa-masa keemasan Orba sayangnya tidak dibarengi dengan tatanan politik yang bagus. Domokrasi hanya menjadi pajangan. Pemilu hanya menjadi ajang seremonial. Ketika pemilu semua orang pasti tahu hasilnya. Bisa dibilang mutlak yang menang Golkar dan Soeharto tetap menjadi presiden.

Selama 32 tahun kenaifan membangun infrastruktur dan ekonomi berlangsung, seakan senjata makan tuan, sistem domokrasi otoriter yang dibangun memang tahan banting. Namun sistem itu akhrinya tumbang juga dihadapan prahara krisis moneter 98.

Kamu tahu apa dampaknya ketika dolar yang awalnya 3.000 naik menjadi 20.000 ? Duh kalau saya sendiri malah tidak tahu, lawong tahun 98 baru lahir.

Cuma ada kawan, atau lebih tepatnya dosen saya cerita. Di kantin kampus UNS yang biasanya serba murah, mendadak mahal. Bahkan si penjual sampai tanya, “tadi ambil sambal berapa sendok ?”. Si penjual menghitung sambal per sendok. Bayangkan sambal saja dihitung, sangking dampaknya terasa sampai ke akar rumput.

Di jalan-jalan kita tahu, penjarahan dimana-mana, perkosaan, rumah orang kaya dibakar, simbol-simbol kemegahan kota semua dihancurkan. Di Solo ada cerita, Mall Matahari yang baru selesai dibangun dibakar oleh masa. Bisa membayangkan tida, baru dibangun loh, sudah dibakar aja.

Sungguh kegemilangan Orba selama 32 tahun runtuh begitu saja. Walau sekarang kita sudah melewati masa-masa sulit seperti itu, sayangnya ekonomi kita belum bisa menguat lagi. Rupiah atas dolar tidak bisa menguat seperti dulu lagi.

Semua kegaduhan itu akhirnya selesai setelah Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden. Babak baru dimulai, reformasi menjadi wacana utama. Sampai sekarang proses itu terus berlanjut.

Semua prahara pada akhirnya berakhir. Dan orang-orang terdahulu mampu melewati itu. Sekarang kita juga dihadapkan pada prahara baru. Pendemi yang menlanda dunia juga berdampak di Indonesia ini seharusnya juga bisa terlewati.