Dhima Wahyu Sejati
Ketika awal kemunculan istilah 'revolusi industri 4.0' banyak pemateri seminar meramalkan inovasi teknologi yang ajib. Senior saya sendiri mengatakan "besok di masa depan kuliah tidak perlu tatap muka lagi, kuliah (pendidikan) virtual, tidak perlu bertemu, cukup di rumah," kira-kira begitu
Saya menentang betul konsep kuliah virtual. Bagi saya, sebuah forum --termasuk kuliah yaa harus tatap muka, ada satu hal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi virtual, yaitu keakraban sosial.
Kita bisa merasakan interaksi yang hangat jika langsung bertatap muka. Memahami segala bentuk simbol yang dilontarkan oleh lawan bicara adalah sebuah kenikmatan. Mengingat sebagaimana kata van Zoest (1993) manusia pada dasarnya adalah "homo semioticus". Dan Litlejohn mengatakan "dasar dari komunikasi adalah simbol". Jika cara kerja simbol ini tidak maksimal karena adanya noise (gangguan) -- termasuk ganguan sinyal, maka alur komunikasi juga tidak akan maksimal.
Makanya, kelas online itu juga sangat merepotkan. Saya tadi pagi (12/5/2020) bergabung dengan forum diskusi Bengkel Bahasa Grobogan yang ternyata berjalan tidak efektif. Kendala sinyal, suara, dan beberapa peserta masih kagok dengan teknologi komunikasi yang satu ini. Iya, apa lagi kalau bukan Zoom. Aplikasi ini mendadak menjadi 'kembang desa'.
Bagi saya, ini menandakan dua kemungkinan; pertama, teknologi komunikasi saat ini tidak cukup canggih dan efektif untuk orang belajar di rumah. Artinya revolusi industri 4.0 di bidang pendidikan masih lemah, belum bisa secara efektif menggantikan interaksi langsung di forum diskusi atau di ruang-ruang kelas.
Yang kedua, indonesia memang belum pernah siap memasuki revolusi industri 4.0. Fasilitas tidak mendukung. Minimal dalam kasus belajar di rumah, kendala utama adalah koneksi internet. Padahal secara letak daerah tidak terlalu pelosok. Rumah saya letaknya dekat dengan kota Solo. Peserta lain rata-rata di daerah Grobogan. Jika sinyal di daerah itu susah, apalagi di daerah yang lebih pelosok.
Itu baru fasilitas internet. Malah, bukan menjadi rahasia lagi, di daerah terpencil, jangankan internet papan tulis saja mereka tidak layak. Kalau saya membayangkan fasilitas pendidikan di pelosok negeri ini, saya membayangkan Sekolah Muhammadiyah di novel Laskar Pelangi. Dengan baik Andrea Hirata menggambarkan kondisi sekolah di pelosok.
Termasuk di novel tersebut ada sekolah Negeri PN Timah yang relatif bagus. Namun hanya bisa dipakai oleh orang-orang kaya dan para petinggi perusahan PN Timah (milik negara).
Di sini jelas Andrea menggambarkan kesenjangan dengan sangat baik dan halus. Walau cuma fiksi, namun sebagaimana kata Andrea "fiksi bukan sekedar mengadakan yang tidak ada, fiksi adalah cara berfikir (menggambarkan realita)."
***
Kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan sudah menjadi kata-kata umpatan yang lumrah untuk pendidikan kita. Orientasi pendidikan kita mengarahke bisnis. Ini semakin menambah kesenjangan. Sebab pendidikan dipandang sebagai sebuah jasa, bukan lagi dipandang sebagai sebuah visi 'mencerdaskan kehidupan bangsa'. Siapa yang bisa membayar, dia yang menikmati jasa. Siapa yang tidak mampu membayar, sekolah hanya menjadi angan-angan.
Visi yang tercantum di pembukaan UUD, hanya menjadi jargon dan selogan pemerintah. Selogan itu berkali-kali dipekikan di atas mimbar, baik ketika presiden atau menterinya berpidato. Selogan itu sedikit berubah bentuk menjadi "pendidikan yang merdeka," itu kata Mas Mentri. Terjemahannya tetap sama saja, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun lagi-lagi itu hanya angan. Sedang kenyataanya minim implementasi.
Sebagai penutup saya mendapat kutipan yang bagus; “la Educacion no se vende, se defiende," yang artinya “Pendidikan tidak untuk diperjualbelikan." Kata-kata yang keluar dari mulut para pelajar di Chile pada 2006 lalu, yang kemudian disebut sebagai Revolusi Pinguin. Aksi ini sebagai upaya menuntut pendidikan yang sehat dan pendidikan yang jauh dari dampak buruk kapitalisme.