Oleh:
Ahmad Zia Khakim
Ibunda Hj. Dra Sri Marnyuni adalah salah satu anggota DPRD Jawa Tengah. Beliau bertutur di sela-sela membicarakan almarhum, tentang kondisi pasar dan petani kita hari ini yang selalu dihadapkan dengan ketidakpastian harga.
Petani kita di wilayah pantura terutama (Rembang, Demak, Kudus dan di beberapa wilayah lainnya) selalu dipermainkan seolah memang pemerintah kita abai pada nasib petani. Sangat tidak manusiawi memang harga bawang, harga bahan-bahan pokok pada saat panen, seolah kita tidak ingin menjadi bangsa pemenang.
Batinku, wujud dari penghargaan bangsa pemenang adalah menghormati profesi petani (Fallahun: kemenangan), Hayya alal falah (marilah kita menuju kemenangan).
Hajat hidup manusia Indonesia tidak bisa lepas dari stuktur sosial bernama pasar.
Esai berjudul "Pasar" oleh Goenawan Mohamad di Tempo, 23 Januari 1993, terasa berlebihan mengangkat pasar ke pokok terbesar di akhir abad XX.
Ia tergesa mengartikan pasar dengan rujukan kapitalisme dan kekuasaan-global, sebelum berjalan pelan ke pasar-pasar milik masa lalu di berbagai tempat se-antero Indonesia.Pasar dibahasakan dengan cemas dan protes. "Pada akhirnya, pasar memang mendera gapura-gapura lama," tulis GM.
Pasar dijelaskan dalam tata adab dan kekuasaan melalui prosa Kuntowijoyo (1994) yang berjudul Pasar. Orang masih mungkin terang dari Kuntowijoyo: "Hari masih pagi di pasar itu. matahari kuning kemerahan berbinar-binar menyentuh gumpalan-gumpalan daun asam diatas los-los pasar. Di bawah pohon-pohon asam itu masih dingin. Los-los pasar dari besi dengan atap yang lumut berjajar sepi...."
Pasar masih menjadi penentu nasib Indonesia. Di berbagai desa dan kota, pasar bercerita tiada putus, mengumandangkan ribuan dan jutaan ingatan dan melepas segala trauma dari kaki-kaki sejarah.
Kita pun sampai ke suguhan puisi pasar berjudul "Doa dari Pasar" gubahan Sindhunata. Di bait ketiga dan empat, Sindhunata menulis nasib apes pasar:
"Di pasar-pasar, tiada lagi suara,
hanya terdengar tangis iba
dari kepala-kepala manusia,
terbungkus daun pisang hijau muda."
"ketika pasar tiada lagi bersua,
kepala-kepala manusia berdoa,
mengapa kamu menjadi korban,
sementara kami sedang mencari makan."
Puisi digubah pada 2011 saat Indonesia mulai memiliki daftar panjang keruntuhan pasar-pasar tradisional.
Situasi agak berbeda muncul dalam novel The Belly of Paris: Pasar-pasar kota Paris (2017) oleh Emile Zola. Pasar berkumandang dengan ungkapan-ungkapan menguak birahi tapi mengantar orang ke perdebatan revolusi dan kemanusiaan. Tata politik mendikte pasar dan memberi untung ke penguasa.
Sindhunata ada di babak kemarahan, bercerita pasar ketimbang para pujangga terdahulu, pasar sulit memiliki bait-bait kebahagiaan.
Masihkah kita tidak sadar!?