Source Image, instagram : @antitesis101
Source Image, instagram : @antitesis101


Rasongko Singgih Samiarto
(Mahasiswa FISIP Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang)


Partai oposisi yang biasanya menjadi penyeimbang sebuah jalanan nya roda pemerintahan dalam suatu negara demokrasi adalah sesuatu yang tidak lazim bagi kita, yang sering menganalisis kekuatan politik dalam setiap rezim kepimpinan, dan hanya PKS sekarang yang masih betah menjadi opisisi, tetapi tidak mempunyai kekuatan penuh guna mengimbangi kekuasaan di era sekarang ini, terlebih pers masa sekarang juga lebih cenderung ke arah pro pemerintah, walaupun masih ada beberapa media seperti tempo yang bekerja di luar kekuasaan baik di rezim orde baru maupun pasca reformasi mereka selalu konsisten dalam hal mengkritisi setiap kebijakan.

Realitanya politik sekarang ini menunjukan sebuah asumsi yang kurang sehat menurut saya, karena selalu mengedepankan main aman dan mengorbankan akal sehat demi masuk kubu pemerintah agar mendapatkan privilege, disitulah lemah nya politik yang akan berujung penindasan masyarakat, karena mereka bekerja untuk partai bukan untuk kepentingan masyarakat.

Sebenernya orang timur seperti kita memang mempunyai intelkualisme yang tinggi, tidak kalah dengan orang barat, saya sangat mengakui semua hal tersebut, bahkan kalau kita flash back ke belakang founding father kita sudah mempunyai pemikiran 10-50thn ke depan bagaimana agar politik menjadi ajang pembuktiaan bahwa negara kita adalah negara demokrasi yang berbeda dengan barat, karena dalam rentang berikutnya demokrasi baik secara konseptual maupun praktis semakin akrab dengan cara kita bernegara, namun dalam setiap rezim pemerintahan telah mengalami pasang surut.

Tentunya kondisi yang kita alami sekarang ini tidaklah posisi ideal, terlebih di era sekarang sejatinya demokrasi berlandasan nilai tentang kesamaan derajat manusia tentunya secara praktis terwujud nya dalam kondisi tanpa adanya penindasan antar manusia. Dari penjabaran mengenai perkembangan praktek demokrasi di Indonesia belakangan ini tentu nya dapat di simpulkan telah terjadi dominasi kaum kaya yang bermodal terhadap kaum miskin yang tidak memiliki sumber daya. Walaupun dalam rentang waktu yang berbeda, sesungguh nya guru bangsa H. O. S Tjokoroaminoto telah melawan kondisi ini ketika jaman pemerintahan hindia-belanda.

Oleh karena itu kekuatan kritis seharus nya sangat amat di perlukan untuk kesehatan kehidupan politik kita, dan salah satu kelemahan rezim politik pasca reformasi adalah kecenderungan “kartel-istik” di dalamnya. Wujudnya adalah ingin menyerap semua kekuatan politik ke dalam kekuasaan, demi efektivitas pemerintahan, seraya membungkam potensi oposisi. Kecendurungan kartel ini mulai tampak pada zaman SBY, dan makin parah di zaman pemerintahan Jokowi sekarang, yang hendak di serap oleh kekuasaan sekarang bukan saja kekuatan politik parlemen, tetapi juga kekuatan-kekuatan sosial di luar parlemen.

Semua rezim politik memiliki kesamaan dalam satu hal, mereka ingin kekuasaannya efektif, dan oposisi yang bisa mengganggu diminimalisir sedikit mungkin, inilah salah satu asal-usul politik kartel, sumber lain juga meliputi keinginan semua partai untuk menikmati kekuasaan.

Politik kartel jelas tidak sehat dalam sebuah negara demokrasi, karena akan membuat kekuasaan politik hanya melingkar di circle terbatas, pertanggung jawaban menjadi sulit di lakukan dalam keadaan seperti ini, karena semua stake holders besar atau menengah di rangkul oleh kekuasaan. Harapan satu-satu nya dalam politik kartel ini adalah kekuatan indenpenden di luar parlemen, pemerintah dan bisnis (karena sebagian bisnis juga jadi bagian dari kartel). Kekuatan itu antara lain media dan masyarakat sipil. Dua kekuatan ini yang menjaga agar tak terjadi “democracy blacslinding”.

Politik yang paling berbahaya adalah ketika dia bergenadengan dengan sentiment indentitas primordial. Sekelompok orang yang menyeruakan diri sebagai golongan terbaik bedasarkan agama,etnis, atau identitas apa pun yang di pilih untuk di gunakan sebagai pamphlet daya Tarik politik. Ini akan merangsang semua orang untuk berkonfrontasi demi menunjukan kehebatan dirinya, gairah politik yang terlanjur menggebu akan menghambat terciptanya empati moral, karena untuk meninggikan dirinya, pihak lawan memnag harus selalu di kecilakan.

Dalam sebuah artikel di New York “review of book”, Ian buruma berpendapat bahwa ada militansi yang memuncak ketika politik yang selalu datang menawarkan perasaan seoalah kita sedang tertindas dengan drama yang cenderung di bikin-bikin, dalam alam bawah sadar nya, para korban agitasi politik kemudian betul-betul merasa bahwa kelompoknya sedang tertindas, meski sebenernya tidak, iniliah yang di maksud dengan “Political Hypnotis”.

Bertrand Russel menulis dalam “The Suprior Virtue Of The Oppressed”, setiap orang cenderung membayangkan bahwa mereka yang tertindas selalu memiliki kualitas yang superior. Oleh karena itu. Ketertindasan adalah komoditas yang selaluu di suarakan dalam propaganda politik dari abad kea bad . laku politik tidakn akan pernah jauh dari lingkar ketidaksepakatan , debat dan argument yang harus di pertahankan rasa suprioritas itu lalu di wujudkan dalam elemen tersebut.

Pada bagian paling ujung dari masalah ini,  tentu tidak semuanya bisa di cegah dengan nalar sehat dan kecerdasan literasi. Korban hipotis politik tidak cukup di sadarkan dengan kalimat-kalimat melalui debat yang tak berujung pangkal. Justru dengan mendebatnya mereka akan semakin merasa tertantang dan mendapat ruang. Mempengaruhi mereka dengan mengungkap fakta-fakta kesalahan juga tidak akan begitu efektif, karena mereka justru semakin merasa menjadi korban ketidakadilan. Terlebih bagi kaum awam yang sering merasa terpinggirkan.

Political Hypnotis adalah penyimpangan. Namun ini satu-satunya propaganda politik berbiaya murah yang akan terus di pakai sampai kapan pun, sepanjang masih ada kelompok yang malas mengaktifkan fitur nalar sehatnta.