![]() |
foto: solopos.com |
oleh: Annas Firmansyah
Di tengah pandemi covid-19 yang menyelimuti, di tengah
kondisi merapi yang mengguncang hati, masyarakat Klaten di alihkan
perhatianntya dengan megaproyek super megah berupa pembangunan gedung pertemuan
yang digadang-gadang akan menjadi gedung pertemuan termegah di kabupaten
bersinar ini.
Tidak tanggung-tanggung, gedung yang akan di tuntaskan
pembangunannya pada tahun 2021 ini memakan anggaran APBD begitu fantastis
dengan total 61,9 miliar rupiah terhitung dari tahun 2018 hingga 2021.
Sebetulnya tidak masalah apabila Pemerintah Kabupaten
Klaten mendirikan gedung megah sebagai tempat pertemuan, hal tersebut justru
dapat menjadi icon Klaten selain Masjid Agung Al-Aqso.
Akan tetapi ang menjadi perhatian masyarakat Klaten tidak
hanya karena pembangunannya di lakukan di tengah pandemi namun nama dari gedung
pertemuan yang berlokasi di Buntalan, Klaten Tengah (sebelah Terminal Ir.
Soekarno) tersebut.
Graha Megawati menjadi nama yang dipilih untuk gedung
tersebut, nama yang sudah tidak asing di telinga masyarakat Klaten bahkan
Indonesia. Sebetulnya boleh dan sah-sah saja ketika nama dari presiden ke-5 RI
tersebut digunakan sebagai penghormatan kepada Bu Mega yang merupakan presiden
perempuan pertama di Indonesia sekaligus tokoh nasional, apalagi Bupati Klaten
sekarang juga seorang perempuan.
Namun, apa yang membuat nama Ibu Megawati begitu istimewa
di Klaten hingga namanya di abadikan untuk gedung pertemuan termegah di Klaten?
Apakah Klaten begitu kekurangan tokoh yang bisa di banggakan? Atau justru para
pejabat elit Pemerintah Kabupaten Klaten buta sejarah kota kelahiran sendiri?
Jika memang tokoh nasional, mengapa tidak mengambil nama
dari tokoh nasional yang telah terbukti betul mencerdaskan dan memajukan
kehidupan berbangsa? Atau mengangkat nama dari tokoh asli Klaten sebagai ciri
dan identitas warga Klaten, seperti Kyai Melati yang menjadi cikal bakal kota
ini bernama Klaten yang mana tidak semua warga Klaten mengenal siapa itu Kyai
Melati.
Klaten pun juga mempunyai Ki Ageng Gribig yang nasabnya
sampai kepada Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Atau Prof. Munawir Sjadzali
tokoh nasional kelahiran Klaten yang menjadi Menteri Agama Indonesia pada tahun
1983-1993 dan Duta Besar Indonesia untuk Kuwait pada tahun 1976-1980.
Tak hanya tokoh tersebut, Klaten pun pernah dibuat bangga
oleh putera daerahnya yang menjadi pelawak senior dan seorang aktivis sekaligus
dosen UI yaitu alm. Dono Warkop. Atau jika terminal sebelah gedung tersebut
bernama Ir. Soekarno, mengapa tidak Moh. Hatta sebagai nama gedung tersebut
agar menjadi icon Klaten bahwa Kabupaten Bersinar ini mempunyai
terminal dan gedung pertemuan yang saling bersebelahan bernama Presiden dan
Wakil Presiden pertama RI.
Saya kira nama-nama di atas lebih masuk akal jika di
gunakan namanya untuk gedung tersebut bahkan lebih “ikonik” dan “membanggakan”
di hati masyarakat Klaten. Saat ditanya persoalan tersebut, Bupati Klaten Sri
Mulyani mengatakan penamaan gedung tersebut sebagai “bentuk kecintaan kami
kepada Bu Mega”.
Lalu, apakah semua warga Klaten mencintai Ibu Megawati
dari sudut ke-tokohan beliau? Mencuatlah sebuah narasi bahwa penamaan tersebut
tak terlepas dari partai yang sekarang berkuasa di Klaten terlebih warna cat
dari gedung tersebut sangat menunjukkan identitas tertentu yang di
bangga-banggakan bahkan di puja-puja sebagian kalangan.
Cukuplah gedung dengan kapasitas 3.000 orang tersebut
akan selalu di kenang di hati masyrakat bukan karena namanya namun karena proses
penamaannya dan pembangunannya yang begitu di percepat tidak seperti proses
pembangunan menara Masjid Agung Al-Aqso yang sempat “mangkrak”.
Satu hal dari penulis, sepertinya di kalangan elit
pemerintah Kabupaten Klaten harus diadakan kelas khusus sejarah agar mereka
tidak buta sejarah kota kelahiran sendiri!