ilustrasi: pixabay


Oleh: Annas Firmansyah

Corona belum usai, bencana lain turut hadir membombardir seperti tanah longsor, gunung meletus, banjir, hingga puting beliung bagaikan kincir. Semua itu turut menghiasi perjalanan Indonesia di masa pandemi ini. Sudah waktunya bagi kita merenung sebelum kita menjadi perenungan orang lain.

Ada apa dengan Indonesia, ada apa dengan dunia? Penulis teringat pada tahun 2019 lalu banyak sekali pendakwah yang mendakwahkan soal kiamat dan hari akhir hingga cerita yang disampaikan begitu menarik perhatian, akhirnya marak kajian tentang dunia yang sudah tua, sudah hendak berakhir kehidupan di alam dunia.

Bahkan pada ramadhan tahun lalu ada salah satu video ceramah yang beredar bahwa pertengah ramadhan kemarin akan muncul kabut dukhon yang merupakan tanda dekat kiamat, ceramah tersebut benar-benar menggetarkan apalagi ditambah backsound yang mendebarkan, seakan-akan dalam waktu dekat akan tiba masa akhir zaman. Saat itu, muncul pertanyaan di benak penulis, “bukankah Nabi Muhammad adalah nabi akhir zaman? Jadi ya memang saat ini kita berada di akhir zaman”.

Namun pada awal tahun 2021 kemarin, saat bencana muncul dimana-mana, televisi penuh dengan berita bencana serta vaksin corona. Penulis kembali merenungkan, menelaah semua kejadian ini, disebabkan penulis bukanlah mufassir, maka penulis membuka kembali catatan-catatan kajian dan kitab yang penulis punya maupun pinjam dari guru penulis.

Penulis menemukan dalam kitab al-Ma’aniy disebutkan bahwa kata musibah diartikan sebagai kullu makruuhin yukhillu bil insaani (segala yang tidak disukai yang menimpa pada diri manusia), kita sepakat bahwa kita tidak suka terhadap adanya corona, terhadap adanya banjir, longsor dan lainnya. Akan tetapi setiap kejadian memiliki makna dibaliknya, tugas kita adalah berjuang, bertahan dan mengambil hikmah serta makna bencana.

Di dalam al-Quran disebutkan beberapa lafadz yang mempunyai arti sama dengan bencana, seperti balaa’ (wa balaunaa hum)  yang dimaksudkan untuk memberikan pemahaman sebagai cobaan untuk memperteguh keimanan bagi hamba-Nya, hal tersebut dapat berupa peristiwa yang menyenangkan maupun berwujud peristiwa yang menyedihkan.

Lalu ada fasaad (dhoharol fasaadu fiil barri wal bahri) yang mempunyai makna kerusakan, kejelekan, dan keburukan. Sehingga fasaad menunjukkan sikap buruk manusia yang menyebabkan kerusakan di bumi ini, baik kerusakan sosial (tatanan sosial) atau kerusakan fisik alam atau merupakan kombinasi antara kerusakan alam dan kerusakan sosial (moral manusia).

Ada pula tadmiir (fadammarnaahaa tadmiiroo) yang diartikan sebagai kehancuran, dan biasa disandingkan dengan kata halak (binasa) yang mana memberi makna bahwa perbuatan buruk manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifatul ardi mendapat balasan kehancuran baik kehancuran dirinya sendiri maupun kaumnya.

Setelah mengetahui beberapa klasifikasi bencana tersebut, lalu penulis kembali merenung, Indonesia kita termasuk yang mana? Diriku sendiri termasuk apa? Belum terjawab pertanyaan tersebut, penulis kembai menemukan dalam kitab Durotun Nasihin karya Syaikh Utsman bin Hasan bin Syakir mengenai ciri-ciri dari ya’jud dan ma’jud yang mana berupa makhluk sangat kecil dan sangat besar, disebutkan pula dalam Qs. Al-Anbiya ayat 96 bahwa apabila telah dibukakan tembok ya’jud dan ma’jud maka mereka akan berlari turun dari tempat tinggi dengan begitu cepat. 

Lalu pikiran ini berfikir, apakah corona yang begitu kecil, alam yang begitu besar ini “bagian” dari ya’jud dan ma’jud ini? Mengingat corona dan semesta juga merupakan makhluk. Seperti halnya dalam al-anbiya tersebut apakah awan panas, lahar, batu-batuan yang keluar dari tembok gunung berapi mencuat keatas lalu turun begitu cepat kebawah serta tanah longsor, air yang mengalir begitu deras dari atas hingga banjir juga merupakan bagian dari tafsir alam tersebut? Wallahu a’lam.

Manusia hanya mampu menduga dan mengira, tugas kita adalah memperbaiki dan bermuhasabah diri semoga semua lekas membaik.