Setiap bulan ramadhan, hampir di setiap masjid pasti mengadakan kegiatan kultum tarawih, kultum subuh, taddarusan dan pengajian-pengajian poso-nan lainnya. Kajian dan pengajian poso-nan biasanya telah diisi oleh ustadz-ustadz yang berkompeten dalam bidangnya, peserta taddarusan sehabis tarawih bergabung antara jamaah muda dan tua yang saling menyimak satu sama lain, ada pula khataman al-Qur’an yang ngajinya menggunakan mikrofon masjid.
Saat mendengar kultum tarawih di awal ramadhan kemarin, saya mendengarkan beberapa pernyataan dari penceramah mengenai penjelasan waktu imsak. Yang menjadi menarik perhatian saya adalah saat menjelaskan pengertian waktu imsak tersebut sang penceramah seakan memberi doktrin bahwa penggunaan dan penerapan kata imsak di Indonesia salah kaprah.
Memang, tidaklah salah beliau mengatakan hal tersebut, namun dalam penjelasan waktu imsak di Indonesia yang dikatakan oleh penceramah tersebut kurang lengkap, bahkan dalam mengartikan kata imsak itu sendiri keliru.
Penceramah tersebut juga menjelaskan perihal pengunduran waktu sholat subuh oleh Muhammadiyah yang mundur sekitar 8 menit berbeda dari jadwal sholat keluaran Kementrian Agama. Tidak salah pula beliau menyampaikan hal tersebut, namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah untuk disampaikan, perlu penjelasan yang lengkap dan rinci serta pemahaman terhadap ilmu falak atau astronomi Islam.
Pun di bulan ramadhan tahun-tahun sebelumnya saya sering mendengar isi ceramah dalam kultum tarawih atau subuh yang mengangkat ikhtilaf (perbedaan) dalam ilmu fikih dan sebagainya justru menimbulkan kebingungan bagi para jamaah.
Fenomena di atas sering terjadi lantaran banyak dai yang semangat dalam berceramah namun tidak di landasi oleh pengetahuan terhadap ilmu agama yang mendalam serta penjelasan yang komperehensif saat berceramah. Bahkan banyak dari dai-dai tersebut bukanlah alumni pesantren, madrasah atau kuliah di jurusan keagamaan.
Kewajiban Berdakwah
Ada betulnya ungkapan menjadi seorang dai tidaklah harus lulusan pesantren, madrasah atau kampus Islam. Namun perlu diingat jalan berdakwah bukan hanya menjadi dai.
Memang kita perlu menekankan bahwa berdakwah merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim di seluruh dunia. Tertuang dalam Ali Imran (3) ayat 104 yang mana kita diperintahkan untuk menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
Lebih populer lagi hadits riwayat Imam Bukhori yang sering menjadi dasar untuk berdakwah yaitu balighuu ‘annii walau aayah (sampaikanlah dariku walau satu ayat). Pengertian dakwah itu sendiri berarti menyeru, mengajak. Bentuk masdar dari fiil madhi-nya da’aa (da’aa-yad’uu-da’waatan).
Dilihat dari pengertiannya, dakwah tak melulu soal mimbar, khutbah, ceramah, atau kultum. Menyeru atau mengajak kepada kebaikan bisa dilakukan dengan berbagai cara pendekatan terhadap objek dakwah itu sendiri.
Dzawin Nur Ikram misalnya, seorang stand up comedian lulusan pesantren yang selalu menyelipkan ayat atau hadits serta pesan moral dalam show-nya, Ahmad Fuadi yang merupakan alumni Ponpes Darussalam Gontor menulis novel Negeri 5 Menara pun sukses menggambarkan nuansa pesantren dalam novelnya tersebut. Tak hanya itu, musisi-musisi seperti Bang Haji Rhoma Irama, Opick, Wali Band juga sukses merambah dunia musik dengan membawa pesan kebaikan disetiap lirik lagunya.
Akan tetapi, seorang yang hendak berdakwah haruslah memahami kapasitas keilmuan dan pengetahuannya terhadap ilmu agama. Apabila memang masih minim pengetahuan terhadap ilmu agama seperti akidah, tafsir, hadits, ushul fikih, fikih, tarikh Islam serta ilmu alat seperti nahwu dan shorof lebih baik berhati-hati apabila hendak mengambil jalur dakwah sebagai dai atau penceramah.
Bagi yang hendak berdakwah sebagai dai atau penceramah sebaiknya lebih giat lagi untuk menunut ilmu agama (tafaqquh fid-diin) dan perlu bersabar dengan waktu yang cukup lama agar matang ilmu dan mental.
Jangan telalu bernafsu untuk berkomentar terhadap hal-hal yang bersifat khilafiyah atau perbedaan pandangan apalagi merasa paling benar dan menyalahkan pendapat yang lain. Hal tersebut sangatlah berbahaya karena kebenaran manusia tidaklah absolut, perlu otoritas keagamaan, referensi yang luas serta sanad keilmuan yang jelas untuk mengeluarkan sebuah pendapat apalagi fatwa agar tidak berakhir pada kesesatan. Tidak selalu orang yang pandai bicara dan dianggap “ustadz” lantas bebas berbicara soal agama.
Dari fenomena dan pengertian dakwah diatas sangat perlu bagi para dai dan penceramah mengetahui kapasitasnya sendiri, apabila memang belum siap dan mampu untuk menerima pertanyaan dari jamaah, lebih baiknya menghindari permintaan untuk mengisi pengajian dengan tanya jawab. Apabila belum siap ilmu untuk menyampaikan perbedaan pandangan, lebih baiknya ceramah diisi dengan ajakan-ajakan berbuat kebaikan (ma’ruf) dan meninggalkan keburukan (munkar).
Ceramah tidaklah selalu tentang praktik ibadah mahdoh atau persoalan fikih dan sebagainya. Sangat banyak kebaikan-kebaikan yang perlu diingatkan, banyak pula hal-hal buruk yang perlu diingatkan pula.
Menjaga lingkungan misal, kita ambil ayat atau hadits tentang pentingnnya menjaga lingkungan lalu kita singgung soal pengelolaan sampah rumah tangga, kebersihan kampung dan masih banyak lagi. Soal mendidik anak dengan baik, bagaimana menyenangkan suami atau istri, cara menjalin hubungan baik dengan tetangga serta ajakan kebaikan lainnya.
Keyword: dakwah, ramadhan, dai