Terasa, sejarah kita memang Jawa sentris. Begitu juga perayaan hari Kartini, sebagai simbol emansipasi wanita. Dari pada wanita Jawa digambarkan ditindas oleh kolonialisme, dalam romantisme narasi sejarah Kartini, wanita Jawa digambarkan ditindas oleh sistem feodalisme masyarkat Jawa. 

Sebenarnya sulit menggeneralisir sistem masyarakat Jawa itu feodal, satu sisi bisa jadi iya, jika kita memandang dengan kaca mata feminisme, yang menganjurkan untuk melawan. Satu sisi bisa saja tidak, jika kita menggunakan kaca mata etika Jawa. Misal, penghormatan kepada orang tua, itu satu kebiasaan yang feodal apa karena memang etika saja? 

foto Abendanon

Akan sangat mungkin, Kartini terpengaruh oleh paham feminisme. Kemungkinan itu ditulis oleh Tiar Anwar Bachtiar, dalam bukunya Jas Mewah (2018), setidaknya menurut Bachtiar pemikiran feminis itu timbul sebab ia bergaul dengan para inlender, entah itu melalui surat menyurat atau pertemuan langsung di sekolah milik Belanda. Kemungkinan ini bertambah, sebab yang menerbitkan surat-surat kartini adalah Mr. Abendanonm, ia menjadi salah seorang taman pena Kartini. 

Abendanon memiliki paham etis, ia geton dan tak gentar membela kesetaraan kaum perempuan, termasuk perempuan Jawa. Lewat Abendanon, surat-surat kartini kemudian diterbitkan. Secara kasar, bisa dibilang Abendanon mempromosikan pemikiran fiminisme lewat Kartini. 

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902). 

“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi… Pergilah! Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi.” (Surat Kartini untuk Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).

Sekali lagi, surat-surat Kartini, lebih nampak melawan feodalisme ketimbang kolonialisme. Dan foedalisme itu adalah sistem, atau sebut saja sistem tata krama Jawa.