Perempuan di perlintasan zaman mempunyai gejolaknya sendiri. Sastra lama Yunani mencatat adanya kecenderungan pandangan filosof purba yang meletakkan perempuan sebagai “musuh” peradaban. Berbagai bangsa di masa lampau banyak yang tidak menghargai perempuan sebagai manusia seutuhnya, dianggapnya hanya sebagai “mesin” pencetak manusia dan perlakuan lainnya yang tidak terhormat serta jauh dari menjaga harkat dan martabat seorang perempuan.

“Saya berterima kasih kepada-Mu, Tuhan, karena tidak menjadikanku perempuan.” Ungkapan tersebut termaktub dalam Kitab Talmud. Yang mana menurut doktrin Yahudi ortodoks, perempuan diangggap sebagai asal mula dosa. Makhluk hina yang membuat Adam diusir dari surga. Dalam kisahnya mereka dikutuk untuk hamil, melahirkan dengan rasa sakit, dan mengalami menstruasi.

Dalam budaya Arab pra-Islam serta banyak budaya bangsa lain menganggap perempuan sebagai property yang bisa diberikan kepada siapapun bahkan dijadikan barang warisan (mirats) yang dapat diberikan kepada para ahli waris. Di India lampau, budaya memperlakukan perempuan lebih ekstrim. Mereka (perempuan) yang telah men-janda karena suaminya meninggal harus bunuh diri untuk menyusul suaminya, bahkan sampai di bakar karena dianggap membawa kutukan.

Seiring waktu berjalan, berkembangnya peradaban, kaum perempuan mulai berjuang dan diperjuangkan. Tokoh-tokoh perempuan yang berjuang berdiri tegap di barisan terdepan. Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi semesta juga mengangkat derajat perempuan. Hingga tidak lagi terdengungkan bahwa perempuan hanya sebatas konco wingking.

Dari banyaknya para tokoh perempuan, dua hal yang tak lepas dari mereka, ilmu dan pendidikan. Setidaknya itu yang saya tangkap ketika membaca maupun mendengar kisah tokoh-tokoh perempuan. Perempuan-perempuan hebat dalam catatan sejarah selalu mempunyai kecakapan ilmu yang mumpuni, pendidikan yang berkualitas baik secara formal maupun non formal. Membuat mereka resah dengan keadaannya yang tertindas, memunculkan gagasan-gagasan yang bahkan tidak terpikirkan oleh kaum adam.

Perempuan dan pengetahuan tersinggung juga dalam agama saya (Islam). Perintah untuk mencari ilmu tak hanya di tujukan untuk laki-laki, namun juga perempuan bahkan diwajibkan. Tholabul ‘ilmi fariidhotun ‘alaa kulli muslimin wa muslima(tin) (mencari ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan).

Budaya patriarki yang sangat dominan dalam sistem pendidikan tak berlaku bagi Islam, Islam menghendaki masyarakat egaliter (egalitarianism society) dalam hak menuntut ilmu. Sebab kewajiban mencari ilmu dalam Islam bersifat fardhu ‘ain (wajib bagi setiap individu). Hal tersebut tercermin dari sikap Nabi Muhammad Saw yang selalu menganjurkan istri-istrinya dan anak-anak perempuannya untuk terus belajar. Hingga ummul mukminin Aisyah R.a tercatat dalam sejarah sebagai perempuan pakar ilmu, tak hanya ilmu syariat (fikih, tafsir, hadits dll) akan tetapi juga ilmu kedokteran, syair dan genealogi (ilmu keturunan).

Banyak tokoh perempuan yang mengangkat derajat perempuan di mata masyarakat dengan ilmu pengetahuan dan kecakapannya dalam memberi kontribusi pada aspek-aspek penting kehidupan. Saat saya mengikuti suatu majelis ilmu, saya terkagum ketika mendengar Imam Syafi’i yang begitu masyhur saja mempunyai guru hadits seorang perempuan yaitu Sayyidah Nafisah dari Mesir. Kedalaman ilmu di bidang hadits yang dimiliki Sayyidah Nafisah membuat seorang Imam Syafi’i ingin berguru kepadanya. Permaisuri dari Sultan Harun Al-Rasyid, bernama Zubaidah dikenal begitu cerdas, berbakat dan berdedikasi. Beliau dikenal sebagai arsitek perempuan yang menjadi aktor utama dalam pembangungan saluran perairan di kota Baghdad.

Saat ini, di Indonesia perempuan tidak perlu khawatir tentang pendidikan karena telah mendapat akses yang mudah tak hanya bagi keturunan ningrat namun bagi semua kaum perempuan yang mempunyai semangat belajar. Mudahnya akses pendidikan bagi perempuan saat ini tidak terlepas dari perjuangan emansipasi wanita oleh RA Kartini serta perintis pendidikan kaum wanita yaitu Dewi Sartika.

Dengan pendidikan yang baik dan luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasi, perempuan akan bernilai setara di ranah publik dan mampu mengakses hak-hak yang selama ini di dominasi oleh laki-laki. Meski berujung menjadi ibu rumah tangga, perempuan tetaplah harus mendapat pendidikan yang layak dan semangat dalam mencari ilmu, sebab di tangan perempuanlah anak di didik untuk pertama kalinya (Ibu adalah sekolah pertama bagi anak) dan di tangan perempuanlah sebuah generasi dibentuk. 

Keyword: Perempuan, Pendidikan