Alan Sokal, seorang profesor di New York University itu pernah mengibuli satu jurnal ilmiah ternama di Amerika. Ia mencoba menggoda para editor apakah mereka cukup jeli melihat paper milik Sokal itu layak terbit atau tidak. 

Sokal menganggap para editor itu hanya peduli dengan ideologi, asalkan tulisan sesui idologi para editor hampir dipastikan lolos. Menurut pengakuan Sokal, bahwa artikelnya 'amburadul dan absrut', atau dalam bahasa Sokal ia menyebut itu "wrote a parody of postmodern science criticism." Menulis sebuah 'parodi' untuk sebuah jurnal ilmiah, kurang nakal apa?

Meski Sokal terlampau nakal dan genit, sedang menyebar kebohongan belaka. Tapi banyak orang yang memaafkan dirinya, sebab dianggap punya iktikat baik, menguji sekaligus mengkritik sebuah jurnal. 

Ia mengatakan sendiri, kesal dengan teori tradisional yang ia anggap hasil dari proses kapitalistik. Hal itu ia unggap di buku berjudul Beyond the Hoax: Science, Philosofi, and Culture terbitan Oxford tahun 2008. Buku tebal nan mahal itu juga membicarakan soal-soal kegenitannya terhadap Sosial Text, nama jurnal asal Amerika yang telah ia kelabuhi. 

Di dalam buku itu, Sokal bercerita bahwa mulanya ia diminta oleh jurnal Sosial Text untuk menulis artikel.

"I confess to some embarrassment at being asked to contribute an introductory essay to this collection of critical studies in the history, sociology and philosophy of science. After all, I’m neither a historian nor a sociologist nor a philosopher; I’m merely a theoretical physicist with an amateur interest in the philosophy of science and perhaps some modest skill at thinking clearly," hl 149.

Sokal menulis artikel ngawur berjudul; Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity. Lalu diterbitkan dalam bentuk artikel ilmiah bernuansa serius pada tahun 1996. 

Sekali lagi Sokal hanya main-main menulis artikel itu, ia mengaku menggunakan semacam otak-atik gatuk untuk menyambungkan fisika quantum dengan ilmu sosial. Tentu, ia mengaku tidak bermaksud merendahkan disiplin ilmu sosial manapun.

Setelah ia mengirim artikel abal-abal itu ke jurnal Sosial Text, tiga minggu setelahnya, ia memengakui tulisan itu hanya tipuan untuk mengelabuhi para editor, "three weeks later I revealed the hoax in an article in Lingua Franca, and all hell broke loose," hl 150.  

Kebohongan

Yang dilakukan Sokal sama saja bohong belaka, dan ia sudah mengakui itu. Kebohongan di level ini menyisakan setidaknya dua masalah serius; masalah etik dan masalah integritas. Masalah etik menimpa Sokal, yang secara sadar ia membohongi publik. Tidak serta merta pengakuannya, membuat ia termaafkan. Bagi saya apapun alasannya, kebohongan seharunya tidak dijadikan dasar. Apalagi ini karya ilmiah. 

Di sisi lain, integritas para editor juga dipertanyakan, mereka saya yakin, di level jurnal ilmiah yang cukup mentereng itu punya kapasitas itelektual yang cukup. Artinya, para editor dapat mengerti mana karya ilmiah yang 'maksa' dan terkesan cocologi seperti yang dibuat Sokal. Namun seperti yang dituduhkan, dengan dalih kesamaan ideologi, merika meloloskan paper bohongan yang dikirim Sokal.

Ini menunjukan sebuah ironi, bahwa di level intitusi yang mengelola jurnal ilmiah bisa mengalami masalah etik dan masalah integritas. Lebih lagi, di Indonesia, banyak jurnal predator. Jurnal-jurnal bodong ini dibuat untuk syarat bagi para dosen enteh untuk naik pangkat atau semacamnya. Si penulis jurnal jelas bermalah, pihak penerbit jurnal apa lagi. Masalah jurnal di Indonesia biasanya bermula tuntutan wajib penelitian bagi dosen.

Termasuk jurnal 'beneran', yang di kelola kampus secara profesional. Saya sering mendengar kritik pedas para akedemisi ke jurnal-jurnal yang dikelola kampus itu. Bahwa jurnal-jurnal ini hanya peduli dengan akreditasi, oleh karenanya mereka hanya mengejar kuantitas, ketimbang kualitas. Sebab akriditasi jurnal, salah satu indikatornya adalah soal jumlah yang berhasil ditebitkan. 

Menguji

Kekesalan yang dirasa sebagian akademisi soal jurnal-jurnal bodong di Indonesia, barangkali mirip apa yang dirasa oleh Sokal. Ia kemudian mengabil langkah ekstrem untuk menguji, sebarapa ketat pengawalan metodologi hingga satu jurnal bisa disebut 'ilmiah'. Namun nyatanya, paper Sokal tembus juga. Ini membuktikan ketika itu, jurnal di Amerika ada yang bermasalah. 

Berbeda dengan Sokal yang menguji para editor jurnal dengan tulisannya sendiri, AS Laksana menguji redaktur esai koran Jawa Pos bukan dengan tulisannya sendiri. AS Laksana, sepertinya kesal dan berusaha menunjukan satu kritik ke publik, bahwa cerpen sebagus apapun jika dikirim oleh bukan penulis besar, maka tetap akan ditolak. 

Sebelumnya, A.S Laksana mengirim tulisan cerpen muridnya ke Jawa Pos dengan nama dirinya. Ia kemudian mengaku tulisan itu bukan miliknya. Pengakuan itu ia tulis di laman Facebook pribadinya. Tak lama berselang, pihak Jawa Pos menyatakan tulisan itu dicabut dan AS Laksana dianggap melakukan plagiasi. 
Satu kritik yang dilontarkan AS Laksana kepada Jawa Pos, memang dan mungkin ada benarnya bahwa harus punya nama besarminimal gelar atau jabatan yang tinggi agar esai atau cerpen bisa dimuat di koran nasional. Kritik itu umum dilontarkan di hampir semua koran nasional. 

Namun plagiasi tetap plagiasi, satu dosa besar yang sulit dimaafkan di dunia kepenulisan. AS Laksana menyasar kritik ke Jawa Pos yang belum tentu kritik itu tepat. Karena mengatakan koran itu hanya memilih yang punya nama itu masih spekulasi. Sedang cara mengkritik yang ia ambil, dangan plagiatmeski akhrinya mengaku tidak sepadan dengan apa yang ia kritik. 

Cara-cara menguji integritas redaktur koran dan editor jurnal yang dilakukan Sokal dan A.S Laksana ini mirip-mirip Robin Hood. Berlagak bak pahlawan, namun kejahatan yang dilakukan Robin Hood tidak pernah menyelesaikan apapun. Sebab kesenjangan yang jahat tidak bisa diselesaikan dengan kejahatan lain seperti pencurian. Begitu juga dengan masalah integritas koran dan jurnal ilmiah, tidak bisa dan tidak akan selesai dengan melanggar etik seperti berbohong dan mencuri (plagiasi). Meski alasanya mulia; 'menguji'.