Membaca tulisan kawanku yang bertajuk Setelah Buku Ditinggal Mati membuatku teringat dengan perjalananku mencari buku beberapa hari yang lalu. Dalam tulisannya, kawanku ini menceritakan tentang ke-asyikan dan “seni” mendapatkan buku oleh pemilik Cafe Buku Lawas yang berlokasi di dekat ISI (Institute Seni Indonesia) Surakarta. Kawanku ini menceritakan cerita yang dia dapat dari obrolan seorang penikmat buku dan penjual buku. Cerita bagaimana asyiknya mencari buku bahkan hingga terbang ke “tanah suci” sepak bola, Eropa.

Sebelum aku membaca tulisan kawanku, aku pernah sekali bertandang ke Cafe Buku Lawas tersebut. Selain karena aku tertarik dengan model coffee shop-nya yang menyuguhkan buku-buku lawas, memang aku sendiri suka ngopi. 

Niatku ke sana untuk mencari buku tentang perjalanan lembaga KPK dan problematikanya dari awal hingga tahun diterbitkannya buku. Namun saat disana, aku tak menemukan buku yang aku inginkan dengan kriteria seperti yang aku butuhkan.

Selang sejenak setelah berputar-putar dan mengeksplor rak-rak buku yang ada disana justru aku menemukan buku yang menarik perhatianku, bersampul hijau dengan judul “Pemikiran dan Peradaban Islam” yang ditulis oleh Aden Wijdan SZ dkk. 

Semakin tertarik lagi aku pada buku tersebut dikarenakan ada nama Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif selaku pemberi kata pengantar. “wah, rodok nge-Muhammadiyah iki” gumamku saat menemukan buku tersebut. Saat kulihat harga dari buku tersebut, aku jadi terkaget dan terheran, “weleh, buku apik e koyo ngene kok mung rego 20.000”. Ya sudah pasti tak beli buku tersebut.

Lain waktu lain cerita, bagiku mencari buku adalah suatu keasyikan tersendiri apalagi setelah bersusah payah mencari buku yang hendak dicari, rasa puasnya menjadi-jadi. Pada awal Juni kemarin aku benar-benar ingin sekali membaca buku karya mendiang Eyang Sapardi yang berjudul Hujan Bulan Juni. Rasa inginku ini disebabkan Juni adalah bulan kelahiran dan bulan yang menyimpan kenangan tersendiri bagiku. 

Dengan niat yang kuat dan rasa ingin jalan-jalan kota Solo tanpa motor, aku pergi mencari buku tersebut dengan moda transportasi BST (Batik Solo Trans) yang berwarna merah, karena gratis dan ya sesekali mengurangi polusi udara karena banyaknya kendaran pribadi, hehehe.

Tempat pertama yang aku tuju adalah toko buku Togamas dekat stasiun kereta Purwosari. Disana dengan keyakinan penuh aku berputar-putar mengelilingi rak buku sambil memindah-mindah buku yang sekiranya menjadi tempat “bersemayam” Hujan Bulan Juni-nya Eyang Sapardi, namun tak juga aku menemukan buku tersebut. 

Selepas Togamas, Gramedia menjadi destinasi kedua yang aku singgahi, disana aku langsung menuju komputer yang disediakan untuk melihat daftar katalog, saat kulihat di katalog buku tersebut mempunyai status “stok/persediaan habis/0”. Setelah dari kedua tempat tersebut, aku sempat berpikir untuk membeli secara online kalau tidak ya di lapak-lapak buku belakang Sriwedari.

Tapi karena aku sudah ingin sekali membaca buku tersebut, tidak jadilah aku memesan secara online. Dan karena aku pernah membeli buku di lapak-lapak belakang Sriwedari tidak pernah mendapatkan yang ori, tidak jadi pula aku bertandang ke sana. Setelah memutari kota Solo dengan fasilitas yang diberikan berupa BST, aku istirahat sejanak di rumah teman yang beralamat di Mangkubumen dan selang beberapa saat aku mulai kembali perjalanan. Kali ini perjalanan pulang.

Di perjalanan pulang, aku teringat bahwa Klaten juga punya toko buku yang cukup besar. Karena masih semangat dan ingin sekali segera meminang Hujan Bulan Juni, ya langsung saja aku kesana untuk menengok dan mencari. Disaat aku tanya bagian katalog, aku sudah sumringah, karena masih ada stok meski tinggal satu buku. 

Langsung saja aku menuju rak buku yang menyimpan rahasia bulan juni tersebut. Sayang sungguh disayang, meski dalam daftar katalog masih tersedia satu nyawa, namun di rak buku tersebut sudah tidak ada jasad dari Hujan Bulan Juni-nya Eyang Sapardi. “yoweslah, sesok meneh sing golek” gumamku sembari menghela nafas lelah. 

Berjalan keluar dari toko, aku justru mendapat buku yang lain, seri kedua dari Hujan Bulan Juni. Karena sebelumnya aku pernah membaca versi pdf-nya Hujan Bulan Juni, untuk mengobati kecewa pula setelah seharian mencari tak ketemu, kubeli buku tersebut dengan tajuk Pingkan Melipat Jarak (2017) garapan Sapardi. Lalu aku pulang.

Perjalanan tersebut aku ceritakan kepada teman tongkrongan dengan begitu antusias seperti menceritakan perjalanan seseorang bersama “kekasihnya”. Saat aku selesai bercerita, ada temanku yang bertanya “lha ngopo kudu tuku bukune nak uwes pernah moco pdf e nas?”, ada juga yang bertanya “nak uwes rampung moco buku emang e terus ngopo nas? Wong yo gak dinggo nggarap skripsi, mending tuku sing nggo nggarap skripsi”.

Pertanyaan-pertanyaan dengan tema serupa sering aku dapatkan dari teman-temanku yang memang secara hobi agak berbeda dengan hobiku. 

Ya bagaimana ya, menurutku kenapa aku begitu antusias ketika mencari buku. Aku mencari lelah dan keringat yang keluar. Serta segala kejadian dalam perjalanan menjadi cerita tersendiri. Pengalaman ini yang mungkin tidak semua orang mempunyainya. 

Bahkan ketika telah lelah seharian mencari buku namun tak ketemu, kita tidak tau tiba-tiba saja akan mendapat buku apa. Itu diluar kehendak kita, satu buku yang menarik perhatian di tengah perjalanan, tanpa direncanakan. 

Apalagi jika kita mendapatkan apa yang kita cari setelah berlelah-lelah. Rasa puas yang diberikan begitu menyenangkan. Bahkan sesampai di rumah ingin sekali rasanya segera menyampuli buku tersebut, menamai dan bikin kopi lanjut membacanya.

“Kenapa harus beli bukunya jika sudah baca pdf-nya? Kenapa gak beli di belakang Sriwedari aja? Kan lebih murah kalo kw?” 

Ya kalau ini sih ya, aku beli bukunya meski telah baca pdfnya ya karena mencoba untuk menghargai penulisnya. Serta menambah koleksi di rak buku. Kalau punya bukunya apalagi tidak kw meski harganya agak mahal tapi rasa puas dan rasa nyaman saat membacanya menjadi bertambah bagiku pribadi.

“Kenapa harus membaca buku-buku itu sih, kan gak digunakan referensi kalo ngerjain skripsi?” 

Gimana ya, membaca buku bagiku bukan saat kita memerlukan buku tersebut, bukan hanya saat buku tersebut masuk dalam daftar buku kuliah, bukan hanya karena keperluan referensi skripsi. Tapi lebih dari itu, lebih dari sekedar membaca, namun bagaimana kita mendapat wawasan baru, pengalaman baru, dan mengetahui dunia meski tak pernah ke-ujungnya. 

Lalu yang paling aku cari adalah, bagaiamana buku bisa mengubah hidupmu, memberimu sumber inspirasi dan bisa kamu amalkan untuk membenahi kehidupan bermasyarakat di sekitarmu, atau menjaga lingkungan di semestamu.

Ya itulah ceritaku di bulan Juni tahun ini, bagaimana kisah menarikmu dengan bukumu? Ceritakan, aku ingin tau.