Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sejak awal dibentuk (2003) selalu ada upaya pelemahan. Mulai presiden ke presiden selalu diiringi dengan berbagai isu. Tidak jarang para pegawai KPK mendapatkan ancaman secara psikis dan fisik, termasuk kriminalisasi. 

Dari berbagai ancaman ini menunjukkan bahwa KPK masih perlu kita kawal bersama. Menjaga independensi memang harus mendapatkan dukungan banyak pihak.

Di masa saat ini usai adanya pengesahan UU No. 19 tahun 2019 menggantikan UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada awalnya merupakan wacana dari DPR untuk memasukkan Undang-Undang KPK tersebut dalam prolegnas. UU sebelumnya dianggap sudah terlalu lama. Lalu perlu adanya pembaruan serta penyesuaian dengan kondisi saat ini. 

Memunculkan berbagai persepsi bahwa akan ada upaya pelemahan KPK dalam pembentukan undang-undangnya. Hingga saat ini menjadi isu nasional, yaitu terkait kepegawaian KPK yang harus diisi oleh aparatur sipil negara (ASN). Singkatnya, pegawai KPK harus melalui berbagai tes untuk menjadi ASN. Dan salah satu tes yang sangat menarik perhatian adalah tes wawasan kebangsaan (TWK).

Dari hasil tes yang telah dilaksanakan oleh KPK maka banyak menuai pro dan kontra karna hasil dari tes tersebut. Banyak pegawai KPK yang termasuk senior yang telah banyak memberantas korupsi justru tidak lolos dalam tes tersebut. 

Berbagai informasi yang saya terima bahwa muatan tes yang dilaksanakan dianggap tidak sesuai dengan materi wawasan kebangsaan. Bahkan tidak ada kolerasinya dengan adanya pemberantasan korupsi. Sehingga itu memunculkan banyak persepsi bahwa tes tersebut diduga merupakan alat untuk melengserkan orang-orang yang mempunyai integritas tinggi.

Seorang Novel Baswedan salah satu penyidik senior KPK mengatakan dalam sebuah wawancara kepada awak media bahwa “saya sudah tidak yakin akan lolos karna saya menilai ini adalah upaya koruptor dan antek-anteknya dalam menyingkirkan orang yang berintegritas”. Sehingga banyak masyarakat yang berasumsi bahwa KPK sudah masuk dalam kondisi kritis. Ini menjadi ancaman yang sangat serius bagi berlangsungnya pemberantasan korupsi.

Dalam sebuah diskusi hukum yang saya ikuti di Forum Intellectus Justice dengan pemateri Thontowi Jauhari mantan DPRD Jateng. Beliau mengatakan bahwa upaya pelemahan KPK saat ini sudah dapat dilihat. Bahkan dianggap sudah menjadi akhir perjalanan KPK. Indikasinya mulai revisi undang-undangnya sudah terlihat terdapat upaya yang jelas nyata untuk melemahkan KPK. Sampai puncaknya ketika pegawai KPK yang berintegritas sudah berhasil disingkirkan. 

Harapan saat ini adalah kekuatan otonom pemerintah khususnya Presiden mencabut undang-undang  baru dengan Perpu, sehingga dapat menjaga independent KPK yang terancam. Status ASN pegawai KPK dikhawatirkan mempengaruhi independensi mereka.

Thonowi juga menyampaikan bahwa politik di Indonesia itu dikiaskan sebagai sebuah kopi. Maka yang menikmati kenikmatan kopi tersebut hanya pemerintah. Para pengampu eksekutif, yudikatif dan legislatif dipriorotaskan terlebih dahulu untuk persoalan fasilitas kenegaraan. Namun rakyat hanya disisakan dari endapan ampas kopinya saja, artinya rakyat tidak pernah diprioritaskan. 

Maka tugas dari mahasiswa, akademis maupun praktisi merubah kultur demokrasi. Sebuah kultur demokrasi yang bersih dari tindak pidana korupsi, yang selalu mementingkan rakyat untuk tujuan kesejahteraan dan kemaslahatan.