Di awal pandemi, ketika kesuntukanku memuncak sampai ke ubun-ubun karena terlalu lama di rumah. Aku tergoda melihat iklan Café Buku Lawas di Instagram. Sederatan buku dipamerkan bebarangan kursi meja café yang rapi. 

Aku tidak tergoda kopi, waktu itu aku belum penikmat kopi, yang membuatku tergoda justru deretan buku di rak, jumlah raknya banyak, di setiap tombok café ada rak, di setiap sudut ada rak. Bukunya perkiraanku ribuan. Ada buku yang khusus di pajak di depan bar kopi. Buku-buku itu aku amati dengan seksama, ternyata deretan buku langka, tertera juga harga yang rata-rata 300 ribu sampai 500 ribu. Buku lapuk itu diharga semahal itu, aku cuma mbatin, “emang ono seng gelem tuku?”.

buku di depan bar cafe
Tak lama pertanyaan itu terjawab juga, sebab cukup sering teman-teman ngajak ngopi, aku langsung mengusulkan tempat itu. Seiring itu pula, aku kenal dengan pemilik Café yang juga penjual buku. Namanya Sigit Pamungkas, begitu nama di akun Facebook-nya. Pria berambut gontrong itu ternyata seniman, ia lulusan S2 ISI Jogja jurusan logam. Jurusan yang menurut pengakuannya sangat langka di Indonesia. 

Dia juga pernah pamer pergi ke eropa, entah negara mana, ia bahkan lupa nama negara itu, yang jelas plosok eropa. Di sana ia jualan buku, entah bagaimana ceritanya, ia tidak mau cerita detail soal jualan buku.

Sigit, ketika di eropa/Facebook
Awalnya basa-basi kita ngobrol ngalor ngidul soal buku, namun yang kudapat cuma perihal segmen pasar, harga buku, dan perihal jual-beli lain. Aku menduga, cukup yakin kalu si pemilik café ini bukan pembaca buku, ia penjual, dan tukang pamer. Sebab ia suka cerita proses mengumpulkan buku-bukunya itu dari para pengempul rosokan yang memilik ‘kantor’, kemudian ia tanya ada buku atau tidak, jika ada dan cukup banyak ia beli dengan harga kiloan. Itu cerita yang bagus buatku.

Aku heran dengan cara membeli bukunya, ia jelas-jelas sedang membeli kucing dalam karung. Ketika aku protes seperti itu, ia cuma berkelakar “yaa itu soal lain, aku pernah dapet buah apel di karung, enek-enek wae, tapi yaa kadang dapat buku bagus, yaa itulah serunya, seninya di situ,” ujar dia meyakinkanku bahwa cara berburu buku kiloan itu memang asyik.

Tidak cuma di rosokan, bila ia punya kenalan keluarga dosen, dilalah meninggal, ia menghubungi keluarga dosen atau kerabat dekat lainnya, untuk sekedar menanyakan, “ada buku atau tidak?” karana biasanya jika buku itu tidak dicintai oleh anaknya atau kerabat dekat lain, tidak bisa serta merta diwariskan ke anak, wong dia tidak cinta, buku-buku nahas itu akhinya jatuh di tangan rosokan. Sebelum itu terjadi Sigit kepingin cepat-cepat ambil. Sigit bisa dibilang seorang penyelamat, setidaknya nasib buku itu lebih baik ditangannya, ia menaruh buku hasil buruannya di rak café dangan rapi.

Aku menaruh cugika, Sigit datang mengaku-ngaku juga sebagai pencari rosok, agar dapat harga kiloan yang murah. Kalau sudah dapat harga kiloan, jelas ia senang bukan main. Kenapa aku menaruh curiga begitu, karena seingatku memang ia mengaku sendiri, ia beli kiloan dari seorang dosen hukum. Pantas saja waktu itu, kebanyakan buku-bukunya tentang hukum.

Di tengah kegembiraan Sigit itu, aku melihat ironi sekaligus tragedi, bukan saja soal tragendi kematian si dosen sebagai pemilik sah buku, bukan itu, itu biar urusan dia di alam lain. Justru ini soal buku-buku yang ia tinggal mati, mereka mau hidup dengan siapa. 

Aku selalu membayangkan, dosen itu  memang pecinta buku, merawat buku dengan baik, dan yang terpenting juga pembaca buku. Namun ketika buku-buku itu ditinggal, bagaimana nasibnya. Tentu, harapannya buku itu bisa diwariskan ke anak-anaknya, atau keluarga dekatnya. 

Tapi celakanya, si anak tidak mencitai buku sebagaimana bapaknya cinta. Sekalipun iya, gairahnya pasti berbeda. Sebab bapaknya mencari buku dengan melewati  proses; rasa gelisah ingin tau banyak, gembira ingin membaca novel kesukaan, dan juga gairah menuntaskan rasa ingin tau dengan membili buku-buku yang lain.

Tragedi buku ditinggal mati ini sudah menjadi tragedi yang umum. Aku heran kenapa tidak pernah menjadi bahan gosip di kalangan palancong buku, malah yang selalu digosipkan hanya sebatas pembajakan buku. Padahal tragedi yang lebih besar malah buku-buku yang ditinggal mati, nasibnya tidak pernah pasti.

Termasuk di Istana Bogor ketika masih didiami Sukarno. Konon, buku-buku berserakan di istana kepresidenan yang mewah itu. Di ruang tamu ada buku, di sofa ada buku, di meja makan ada buku, sampai di kamar tidur ada buku, semua itu milik Sukarno. Nahas, ketika ada intrik politik yang membuat ia lengser, buku-buku itu entah ke mana. 

Barangkali kalau Sigit hidup di zaman itu, pasti bukunya sudah berjejer di Café Buku Lawas miliknya. Begitu juga Hatta, sahabat karib Sukarno yang gila buku itu. Entah bagiamana ia sampai bisa mengupulkan puluhan ribu buku. Nasibnya bukunya kini ternyata  tertimbun di perpusakaan prindai milkinya. Kini hanya pihak keluarga yang bisa mengakses buku-buku itu.

Tragedi semacam ini berpotensi menimpa siapapun. Termasuk ilmuan tua, Salim Said, seorang kritikus film juga pengamat militer itu sudah sangat tua, 77 tahun. Di satu waktu ia diwawancara mengai buku-bukunya, ia bilang kepingin diwariskan ke anak-anak, namun ternyata anak-anaknya tidak terlalu tertarik. 

Salim Said kemudian berfikir membuat ruang khusus di perpusakaan ibu kota yang memamerkan koleksi buku-bukunya. Aku juga setuju langkah yang diambil Siad, dari pada tertimbun di rumah dan tidak ada yang membaca, mending dibuka untuk umum. Dengan demikian, kita jadi gampang memahami pemikiran seorang Said Salim, bair bagaimanpun pemikirannya kan dibentul lewat buku yang ia baca.

Nasehatku untuk yang punya buku, pikirkan nasib buku-buku itu setelah tuannya mati. Pesanku satu, jangan sampai berada di tangan para kolektor. Sebab para kolektor rada arogan nan egois, mereka membeli buku-buku langka yang harganya bajibun, bahkan satu buku bisa membiayai kuliahku dua semerter. 

Buku semahal itu cuma disimpan, dan dipamerkan ke kolega sesame kolektor, sesekali orang awam, sekedar membuktikan bahwa dirinya punya. Bukan karena ingin diakui sebagai pembaca ulung, apalagi kepingin diakui sebagai seorang intelektual. Aku yakin, mereka cuma pamer, dan menegasakan kekayaan dirinya sebagai penyandang status sosial kelas atas. Bikin jengkel!

Ingat, buku tidak dibawa mati, malaikat tidak akan tanya, kamu punya buku langka tidak. Justru karena tidak ditanyakan, pikirkan nasib buku sebelum kamu mati.