Ahmad Zia Khakim | Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, UMS


DEMOKRASI selalu ketiban sial. Meski, secara historis jejak demokrasi Indonesia terekam jelas sejak era Soekarno. Demokrasi waktu itu bisa dikatakan semu alias dibuat-buat oleh Sukarno dengan konsep demokrasi termpimpin. Sementara di era Suharto, sama saja, semangat demokrasi dipasung oleh rezim yang diktator, meski diberi nama demokrasi pancasila.

Pasca reformasi, Indonesia mengalami perubahan. Dulu peran rakyat dibatasi, sekarang rakyat betul menikmati kebebasannya untuk memilih dan dipilih, berbicara, berserikat dan lainnya. Tidak heran jika mendali demokrasi diberikan kepada kita oleh sebuah asosiasi bertaraf Internasional. 

International Association of Political Consultants (IAPC), satu lembaga yang berfokus pada kemajuan demokrasi dunia, malui Presiden IAPC, Ben Gorddard menyatakan Indonesia telah menunjukkan komitmennya pada demokrasi. Kriteria pemberian penghargaan ini, salah satunya, Indonesia dinilai berhasil menyelenggarakan pemilihan umum secara langsung tanpa gangguan berarti.

Secara keseluruhan pemilu Indonesia sejak tahun 1999 dianggap berjalan lancar, jujur, adil dan aman dan ditambah lagi pelaksanaan pilkada langsung di daerah yang dapat dikatakan cukup baik.

Tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik bagi Indonesia. Pilkada serentak di tahun berikutnya. Dilanjutkan dengan pemilihan presiden dan  wakil presiden serta secara bersamaan pula dilangsungkan pemilihan anggota legislatif.

Artinya tahun itu warga negara disibukkan baik pikiran dan tenaga, guna menyambut pesta demokrasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Partai politik mulai memanaskan mesin. Lalu menancapkan gas dengan cara memberikan delegasi kepada calon-calonnya. Nantinya mereka harus merebut hati rakyat dengan cara berkampanye. 

Sadar atau tidak, cara mereka kampanye sebenarnya bermasalah. Bahkan sampai sekarang, pola kampanye bermasalah itu langgeng. Bisa dilihat melalui persiapan para elit politik untuk menyambut 2024. Permasalahan itu terletak pada 'isu' yang dipromosikan lewat sosial media.

2024

Meski masih lama menuju 2024, hingar bingar medianya sudah dimulai saat ini. Di era digital seperti saat ini, sarana yang paling efektif dan efisien untuk melakukan kampanye adalah menggunakan media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, dsb. Penggunaan media sosial mampu menarik suara kaum muda millenials terutama mereka para pemilih pemula.

Seperti dua mata pisau, selain memiliki  dampak yang cukup positif, kampanye lewat media social juga memiliki efek yang negative. Itu bergantung pada penggunaannya. Bila caranya dengan menyebar isu-isu sensasional, maka yang terjadi hanya kekacuan semata.

Ini bisa dilihat, hari-hari ini masyarakat dengan mudah disibukkan soal isu-isu recehan yang tidak subtantif. Dalam konteks pemilu, banyak yang tidak lagi progam yang ditawarkan, apalagi mengkritisi. Malahan isu primordial sering kali mewarnai jagat dunia maya. Isu-isu primordial ini biasanya soal kultus kelompok. Dalam hal ini kelompok yang dikultuskan bisa jadi kelompok pendukung partai.

Pola komunikasi politik demikian sangat rawan dan bahkan bisa memicu konflik horizontal. Tentu hal ini menghabiskan energi dan tidak produktif untuk masa depan. Apalagi tidak mencerdaskan. Kalau sudah begitu, ujung-ujungnya black campaign dan negative campaign. Saling menyuguhkan narasi provokatif dan menjatuhkan satu sama lain.

Media sosial sekarang ibarat arena tarung gladiator bagi mereka yang menyukai debat ataupun saling hujat atas nama agama kemudian menjatuhkan dan menjelekkan agama yang lain. Lebih parahnya lagi model kampanye demikian justru terus dilakukan.

Bahkan bisa dikatakan kampanye tanpa membawa primordialisme agama, bagai sayur tanpa garam, hambar. Di tengah covid -19 tidak hanya wabah ini yang perlu kita lawan. Namun juga sikap-sikap premordialisme. Pada akhirnya, entah di era Sukarno, Suharto, Reformasi, sampai tahun 2024 mendatang, demokrasi kita tetap saja ketiban sial.