Jika dipikir kembali banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan dari tragedi perjalananku sejak kecil~
Sejak kecil aku tumbuh di keluarga yang kalau kata orang keluarga yang biasa saja. Mamaku tidak bercadar, papaku bukan bapak bapak yang kalau kemana pun menggunakan gamis lelaki dan sorban yang bergelantung di kanan atau kiri lehernya.
Tapi papaku
lumayan cukup taat akan agamanya. Terkadang menjadi ustadz dadakan, bak berdiri
diatas mimbar lalu mendalilkan ayat ayat walaupun terbata bata. Kalau sudah
begitu kadang aku melengos, pergi tidak menggubris. Kurang ajar memang. Kalau
ditanya mengapa aku melakukan hal itu tidak akan kuceritakan disini.
Sedari kecil aku menempuh pendidikan di sekolah berbasis Islam, dari mulai taman kanak kanak bahkan sampai perguruan tinggi yang dulunya aku tidak berpikir untuk masuk disitu. Bahkan tidak mau, tapi takdir seakan menuntunku sampai disini dan harus menerimanya dengan lapang dada. Aku ingat sewaktu dulu sekolah dasar, lingkunganku disana diisi orang orang yang agamis.
Mereka selalu menutup tubuhnya dengan rapat, bahkan guru
di sana selalu menggunakan cadar. Mataku tidak pernah menangkap lawan jenis yang
bergerombol dalam satu tempat, bahkan ruang kelas untuk anak laki laki dan
perempuan pun dipisah. Tidak ada anak laki laki dan perempuan yang berbaur
untuk bercanda atau bermain selayaknya anak anak kecil seperti yang aku lihat
ditempat lain. Padahal sedari kecil aku selalu dikelilingi lebih banyak anak
laki laki, bermain dengan anak laki laki.
Sepupuku yang dekat dan sering bermain denganku pun laki-laki. Mungkin hal itu yang membuat aku terkadang memiliki sifat yang sedikit maskulin. Karena sewaktu sekolah dasar, anak perempuan dan laki laki tidak boleh berbaur satu sama lain, setelah aku lulus sekolah dasar aku mulai agak canggung untuk berbaur dengan anak laki laki yang baru kukenal.
Kehidupan
di sekolah dasar cukup mempengaruhi kehidupan keseharianku. Aku pun melanjutkan
pendidikan menengah pertamaku di sekolah yang bergelar agamis, yang ada
dipikiranku aku akan bertemu dengan anak anak yang agamis dan guru yang menutup
mukanya dengan cadar. Ternyata, jauh bertolak belakang dengan pikiranku.
Anak anak di sana merokok, minum, menonton film biru, bahkan ada yang bergabung dalam kelompok untuk tawuran agar terlihat ‘sangar’ katanya. Kalau temanku pulang dari warnet dengan pacarnya, dia akan meminjam telingaku, dia akan bercerita padaku apa yang dia lakukan dengan pacarnya. Disitu aku asyik mendengarkan sambil sesekali menggodanya, karena jika dia bercerita padaku tandanya dia percaya padaku.
Aku berteman dengan teman-teman yang memiliki latar belakang yang beragam dan kehidupan yang bertolak belakang dengan orang orang yang kutemui di lingkungan sebelumnya. Hal itu cukup membuka pikiranku, dan mempengaruhi pola pikirku. Walaupun begitu, aku anak yang keras kepala dan tidak gampang terpengaruh oleh lingkungan. Jadi kalau ada temanku yang berlaku sedikit kurang ajar aku akan menolaknya dengan candaan.
Kalaupun aku akan melakukan sesuatu hal aku akan melakukannya atas keingininan dan kemauan diriku sendiri dengan tanggung jawab. Aku rasa kita memang harus membuat batasan dalam diri kita agar tetap berpegang pada prinsip dan tidak hilang arah.
Aku ingat dulu, beberapa tragedi menimpa teman-temanku, sampai menjadi perbincangan panas di kalangan murid lain dan guru disekolah. Tragedi yang biasa terjadi di kalangan anak sekolah, namun seharusnya tidak di lakukan oleh anak yang masih menempuh pendidikan formal. Hamil di luar nikah, pada akhirnya anak itu di keluarkan dari sekolah.
Aku juga pernah berteman dekat dengan
anak yang memiliki orientasi sexual yang di pandang tabu oleh
masyarakat. Dia pun berakhir keluar dari sekolah sebelum dikeluarkan pihak
sekolah. Katanya perilakunya dianggap mencemarkan nama baik sekolah dan
merupakan hal memalukan.
Di sekolah menengah kejuruan pun aku dipertemukan dengan teman teman yang beraneka ragam. Kebanyakan dari teman sekelasku adalah laki-laki. Anak laki-laki di kelasku cenderung suka merundung satu sama lain, bercanda dengan mengolok olok. Mungkin mereka merasa maskulin jika melakukan hal hal seperti itu, karena merasa memiliki kekuatan jika melakukan perundungan.
Meskipun bukan aku yang kerap kali menjadi korban perundungan
mereka, tapi terkadang aku kesal melihat perilaku mereka yang tidak peduli
dengan orang yang mereka jadikan bahan perundungan. Sebenernya aku pun anak
yang jahil, yang membuatku terkadang kesal adalah mereka tidak melihat kondisi
dan situasi.
Pernah suatu waktu ada sosialisasi dari kakak kelas yang sudah menjadi alumni. Dia masuk kelas dengan pakaian yang tertutup rapat dan menggunakan cadar. Salah satu teman laki-lakiku berteriak “Ninja, eh ada ninja”. Langsung saja gestur dan sorot matanya berubah. Terlihat dari bola matanya ia tidak merasa nyaman. Setelah itu ia berpamitan untuk keluar meninggalkan kelas.
Hal itu membuka lebar pikiranku untuk memandang sesuatu dan bagaimana seharusnya aku harus bersikap. Ketika aku berada dilingkungan yang agamis mungkin orang sepertiku akan dipandang berbeda karena pakaianku yang berbeda pula dari mereka.
Orang-orang yang memakai pakaian serba gelap, menutup tubuhnya rapat-rapat, dan hanya menunjukkan matanya akan dipandang berbeda pula jika berada dilingkungan yang orang orangnya sepertiku. Kadang kita merasa berbeda karena pilihan hidup kita atau cara berpakaiana kita. Ada rasa penolakan dalam diri, lalu mencoba untuk mengikuti orang lain, dengan dalih menyesuaikan lingkungan.
Bisa jadi kita sedang kehilangan diri sendiri. Bukan
kita yang berbeda, mungkin orang-orang itu yang tidak bisa terbuka dengan
perbedaan atau kita yang salah memilih koloni.
Hidup adalah pilihan, setiap orang memiliki pilihan hidup dan jalan hidupnya masing masing. Bahkan ketika ada seseorang yang memiliki pilihan hidup yang bertolak belakang dengan kita ia tetaplah manusia.
Manusia memang makhluk visual, namun bukan menjadi tolak ukur utama untuk
menilai seseorang. Terkadang apa yang kita lihat tidak seperti apa yang
terlihat. Manusia selayaknya buku yang harus dibaca setiap kalimatnya,
harus dipahami setiap katanya, agar paham betul apa makna dari setiap babnya.
Seperti manusia, mereka memiliki peran masing-masing, memiliki maknanya
sendiri dari setiap kisahnya.
Jika dipikir kembali banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan dari tragedi perjalananku sejak kecil. Aku seperti dipaksa menyaksikan berbagai macam manusia yang berlatar belakang dan memiliki pilihan hidup yang berbeda. Tentunya dengan tragedi beserta kontroversinya masing-masing.
Penulis, Hana Hanifah Atsil H