Based on true story, beberapa minggu lalu aku sekeluarga terpaksa harus isolasi mandiri karena qadarullah Bapak terpapar C-19. Dengan kondisi tersebut, Bapak harus ikut isolasi terpusat tingkat kota dan terpisah dari isolasi mandiri keluarga.

Bagi sebagian masyarakat yang tinggal di kota, “ora kenal tonggo” adalah hal yang lumrah. Contoh yang paling sederhana adalah ketika ada seorang kurir paket yang mengantarkan suatu barang dan menanyakan nama salah satu warga di “komplek”-nya, ia belum tentu kenal sembari mengatakan “kurang tahu itu pak, saya lihat alamatnya saja dan bantu cek di maps”.

Tentunya, sangat berbeda ketika aku berkunjung ke rumah rekan yang tinggal di desa dan pada saat itu ada seorang yang menyapa. Kutanya “ itu siapa?”, dan dengan semangat ia menjawab “ooo … kui tonggoku”. Setelah bertanya lebih lanjut, ternyata orang tersebut tinggal beda desa dengannya. Dalam hati tentu terheran “bedo deso kok di aku-aku tonggo”.

Menggunakan perspektif sosial Ibnu Khaldun yang membagi dua karakteristik social menjadi kelompok “badawah” atau mereka yang tinggal di pedesaan dan “hadharah” atau mereka yang tinggal di perkotaan. Dimana situasi dan kondisi-lah yang merupakan faktor utama adanya perbedaan tersebut.

Salah satu argument penguat lain adalah pernyataan Daljoeni yang menyebutkan bahwasannya masyarakat terpecah berdasarkan pemukiman, yaitu yang terletak di luar kota dan penduduknya bermata pencaharian dengan bertani atau bercocoktanam disebut dengan desa atau pedesaan.

Pandemi, yang sudah lebih dari satu tahun “hinggap” di Indonesia apakah dapat diklasifikasikan klaster penyebarannya menggunakan teori sosial?

Kebiasaan masyakat perkotaan yang 'ora kenal tonggo' dari sisi sosial ternyata ada sisi positifnya. Kok bisa? Interaksi social antar masyarakat perkotaan karena tidak mengenal orang di sekitar, otomatis sudah meminimalisir mobilitas.

Namun, meskipun tidak mengenal tetangga, bukan berarti nilai kebersamaan yang merupakan pengamalan sila ke-3 Pancasila luntur begitu saja. Selama isoman kurang lebih dua pekan, tetangga tiap hari berdatangan, bergantian, saling mengulurkan bantuan untuk kami (keluarga di rumah). “Apakah mereka takut dengan kami?”. Tidak, mereka justru memberi support dengan cara mereka masing-masing. Dan setelah dua pekan, Bapak Alhamdulillah sudah bisa pulang.

Sore tadi, salah seorang kerabat yang tinggal di desa menelpon ibuku dan bercerita bahwa perkembangan kasus disana mencengangkan. Bagaimana tidak, hampir satu desa kini melakukan isolasi mandiri. Kerabatku berkata, “di sini kasus makin meningkat yu, pie ora nambah kasus nek saben dino isih do kelayaban padahal posisi positif C-19”.

Setelah kutanya, mengapa warga enggan mengurangi mobilitas, ia menjawab, “di sini kalau positif C-19 dijauhin, karena hari-hari sering kumpul walau cuma ngobrol sore atau arisan. Lagi, yang membuat lebih parah karena masih banyak yang ngeyel tidak pakai masker karena alasan tonggo dewe”.

Aku langsung teringat kisah rekanku, “padahal beda desa masih di anggap tonggo dewe, kalau memang enggan bermasker dan tetap berinteraksi, tidak mengherankan kasus disana bisa sampai isolasi satu desa bukan?”

Lantas, apakah ‘Kenal Tonggo’ adalah hal yang ‘berbahaya’?


Penulis
Salju Puspitasari, Mahasiwa UIN RMS Surakarta